Selasa, 12 Mei 2009

Sekelumit Sejarah Islam

P E R A N G S A L I B
Disusun oleh : Drs.H.Insyafli, M.HI

A. Pendahuluan.
Perang salib merupakan sejarah yang memiliki cukup banyak sudut pandang dan sarat akan kepentingan. Umat Islam, Kristen bahkan Yahudi memiliki versi sejarah yang berbeda dalam perang salib. Satu kaum mengunggulkan“cerita” dalam sejarah perang salib terhadap kaum yang lain. Bagaimanapun, meskipun kondisi saat itu merupakan situasi dimana negara-negara di dunia sedang gencar-gencarnya melakukan ekspansi. Terlepas apakah perluasan kenegaraan tersebut terlepas dari sentiment agama maupun tidak. Namun, pada kenyataan yang terjadi dalam perang salib peperangan mereka bawa sebagai penyelamat dan meyakini bahwa meninggal dalam peperangan merupakan jalan menuju surga.
B. Pembahasan.
Perlu kami tekankan disini bahwasanya terdapat perbedaan catatan sejarah mengenai terjadinya perang salib. Literatur dari en.wikipedia.org (perpustakaan internet) menyebutkan bahwa terdapat 9 peristiwa perang salib ditambah 3 peristiwa perang salib berdasarkan momentum peristiwa,sehingga tercatat 12 peristiwa perang salib.

. Sementara Dr. Th. Van den End dan Dr. Christiaan de Jonge dalam buku Sejarah Perjumpaan Gereja dan Islam mengutarakan bahwa perang salib terjadi sebanyak 7 kali.
(End,vanDen dan Jonge, Christiande (2001 ), Sejarah Perjumpaan Gereja dan Islam Sekolah Tinggi Teologi, Jakarta.)
. Sedangkan Dr. Badri Yatim, M.A. dalam bukunya Sejarah Peradaban Islam membagi dalam 3 periode. Bahkan, untuk tahun peristiwa-pun terdapat perbedaan. Perbedaan ini berangkat dari standarisasi sudut pandang yang tidak sama mengenai perang salib, faktor, nilai yang terkandung dan dampaknya, meskipun berangkat dari fakta yang sama .
1. Metodologi Sejarah.
Sebagian besar orang menganggap bahwasanya sejarah merupakan bagian dari masa lalu yang tidak perlu diketahui, apalagi dipelajari. Sejarah seakan menjadi romantisme patriotis yang dibanggakan, dielukan atau bahkan mengecewakan. Tidak cukup banyak orang yang menganalisa bahkan mengambil pelajaran berharga dari sejarah. Karena sejarah memang tidak pernah berulang, akan tetapi pola sejarah akan tetap berulang. Seperti halnya spiral, dimana putarannya tidak akan bertemu dengan putaran sebelumnya.
Dalam makalah ini, penulis mencoba untuk memadukan berbagai literatur yang kami dapatkan. Bukan untuk melakukan resume melainkan menganalisa menggunakan metodologi penulisan sejarah yang diperkenalkan oleh Kuntowijoyo.
. Menghadirkan penulisan sejarah perang salib menurut sudut pandang dan metodologi yang kami gunakan. Ada dua metode penulisan sejarah yang kami gunakan yaitu, model lingkaran sentral dan model jangka panjang-menengah-pendek . Model lingkaran sentral merupakan metodologi penulisan yang mencoba untuk menganalisa keterkaitan satu peristiwa dengan peristiwa lainnya. Dan sejauh mana faktor-faktor yang berada diluar peristiwa dapat mempengaruhi terbentuknya peristiwa tersebut. Karena dinamika sejarah merupakan alur logis dari serentetan peristiwa sejarah yang saling bertautan.
Sedangkan model jangka panjang-menengah-pendek merupakan pendekatan keberlangsungan sejarah dalam tiga fase. Pertama, ialah sejarah jangka panjang yang perubahannya lamban, merupakan perulangan yang konstan dan perkembangan waktu yang tidak dapat dilihat. Kedua, ialah perkembangan sejarah yang dapat dirasakan ritme dan dinamika dari peristiwa sejarah. Ketiga, ialah sejarah jangka pendek yang serba cepat, pendek dan terfokus pada titik tekan peristiwa sejarah.
Menggunakan dua metodologi di atas, kami lebih menitikberatkan pada faktor terbentuknya dan dampak dari perang salib. Meskipun dampak perang salib tidak dapat kami hadirkan sebagaimana pembahasan dalam faktor-faktor terbentuknya perang salib. Namun, kami tetap mencoba untuk menghadirkan peristiwa “peperangan” salib sebaik mungkin.
Meskipun demikian, penggunaan model lingkaran interval dan model jangka panjang-menengah-pendek dalam menganalisa perang salib sangat tergantung pada literatur yang kami dapatkan. Terlebih literatur tersebut seringkali menyampaikan tafsiran subyektif penulis atas peristiwa yang terjadi. Sehingga menjadi bias antara fakta sejarah dan “fakta” penulis atas sejarah.
2. Sebab-sebab Terjadinya Perang Salib.
Perang Salib merupakan sejarah yang tidak mudah terhapus dalam ingatan masyarakat dunia. Bahkan ketika Paus Benediktus XVI secara “tidak sengaja”, memberikan kuliah di jerman, telah menghina umat muslim. Hal tersebut dianggap dapat menjadi pemicu perang salib di abad ke-21. Namun, Paus bersedia untuk memberikan klarifikasi dan memenuhi permintaan umat muslim dunia atas dirinya untuk memberikan pernyataan maaf. Hal ini menunjukkan bahwasanya perang salib teridentik sebagai perseteruan dua agama samawi, yaitu Islam dan Kristen.
a. Faktor Sejarah
Peristiwa (awal) penting terkait dengan perang salib, adalah ekspansi yang dilakukan oleh Alp Arselan yaitu peristiwa Manzikart tahun 1071 M (464 H). Tentara Alp Arselan yang berkekuatan 15.000 prajurit berhasil mengalahkan tentara berjumlah 200.000 orang, yang terdiri dari tentara Romawi, Ghuz, Al-Akraj, Al-Hajr, Perancis dan Armenia. Dr. Badri Yatim, M.A. menyebutkan bahwa peristiwa tersebut menanamkan benih permusuhan dan kebencian orang-orang kristen terhadap umat Islam.
Pada tahun 1076 M (471 H) Dinasti Seljuk dapat merebut Bait Al-Maqdis dari kekuasaan dinasti Fathimiyah yang berkedudukan di Mesir. Penguasa Seljuk, khalifah Abdul Hakim, menetapkan beberapa peraturan bagi umat Kristen yang ingin berziarah ke sana. Peraturan tersebut dirasakan sangat memberatkan mereka . Dan jauh sebelum kedua peristiwa di atas terjadi, diperkirakan pada tahun 1009 tersebar berita di Eropa bahwa Gereja Sepulcher dihancurkan oleh penguasa Mesir, al-Hakim bi Amr Allah .
Pada tahun 1085 raja-raja Kristen di Spanyol Utara melancarkan serangan untuk merebut Spanyol dari tangan orang Islam. Gagasan menolong Byzantium, yang sedang diserang tentara Turki, dan membebaskan Palestina telah dilontarkan oleh Paus Gregorius VII (1073-1085). Namun, hal tersebut terhambat oleh perpecahan antara Byzantium dan Paus dimana kedua belah pihak saling mengutuk dan melakukan tekanan kekuasaan,yang dimulai sejak tahun 1054.
b. Faktor Agama.
Berbagai literatur umumnya menuliskan bahwa faktor utama dari sisi agama ialah sejak Dinasti Seljuk merebut Baitul Maqdis dari Dinasti Fathimiyah. Ketika itu umat Kristen merasa tidak lagi bebas untuk menunaikan ibadah (baca: berziarah) ke sana. Mereka yang pulang dari ziarah sering mendapat perlakuan jelek dari orang-orang Seljuk. Selain itu khalifah Abdul Hakim menaikkan pajak ziarah bagi orang-orang Kristen Eropa. Hal ini memicu kemarahan Paus Urbanus II yang mengatakan bahwa hal tersebut merupakan perampokan dan sebuah kewajiban untuk merebut kembali Baitul Maqdis . Selain itu, Paus juga menjanjikan kejayaan, kesejahteraan, emas, dan tanah di Palestina, serta surga bagi para ksatria yang mau berperang.
Namun, perang salib tidak terlepas dari penyebaran agama Islam ke berbagai daerah yang menjadi kota-kota penting dan tempat suci umat Kristen. Seperti halnya beberapa kawasan Iran dan Syria (632), penaklukan Syria, Mesopotamia dan Palestina (636), Mesir (637), penaklukan Cyprus dan Afrika Utara (645), peperangan melawan Byzantium (646) kemudian terjadi peperangan di laut melawan Byzantium (647) hingga musnahnya kerajaan Parsi pada tahun yang sama. Tidak hanya sampai disitu, penyebaran Islam juga mengharuskan serangan atas Konstatinopel (677) kemudian terjadi kembali pada 716, penaklukan Spanyol, Sind dan Transoksian (711) hingga serangan atas bagian selatan Perancis (792). Serta berbagai peristiwa penaklukan lainnya dalam melakukan ekspansi serta dakwah Islam.
c. Faktor Politik
Pada sinode di Clermont Perancis, Paus Urbanus II (1088-1099) memulai inisiatif mempersatukan dunia Kristen (yang saat itu terbelah antara Romawi Barat di Roma dan Romawi Timur atau Byzantium di Konstantinopel). Kebetulan saat itu raja Byzantium sedang merasa terancam oleh ekspansi kekuasaan Saljuk, yakni orang-orang Turki yang sudah memeluk Islam. Ketika terasa cukup sulit untuk mempersatukan para pemimpin dunia Kristen dengan ego dan ambisinya masing-masing, maka dicarilah suatu musuh bersama. Dan musuh itu ditemukan, ummat Islam. Sasaran jangka pendeknya pun didefinisikan: pembebasan tempat-tempat suci Kristen di bumi Islam, termasuk Baitul Maqdis. Adapun sasaran jangka panjangnya adalah melumat ummat Islam. Sementara itu, umat Islam justru terpecah tidak hanya secara “pandangan” terhadap agama, namun juga hingga politik. Mereka yang berseberangan tidak dapat bersatu padu dalam melawan Kristen. Hingga akhirnya Sholahudin al-Ayubi datang dan menyatukan kembali.
d. Faktor Sosial-Ekonomi
Stratifikasi sosial masyarakat Eropa ketika itu terdiri atas kaum gereja, bangsawan serta ksatria dan rakyat jelata. Mayoritas dari mereka adalah rakyat jelata yang harus tunduk pada tuan tanah, terbebani pajak dan kewajiban lainnya. Gereja memobilisir mereka untuk turut serta dalam perang salib dengan janji akan diberi kebebasan dan kesejahteraan yang lebih baik bila dapat memenangkan peperangan.
Masyarakat Eropa memberlakukan diskriminasi terhadap rakyat jelata. Di Eropa ketetapan hukum waris, bahwa hanya anak tertua yang berhak menerima waris. Jika anak tertua meninggal, maka harta waris harus diserahkan kepada gereja. Hal ini menyebabkan anak miskin meningkat; kemudian diarahkan untuk turut berperang. Sementara, meluasnya daerah kekuasaan Islam berdampak pada beragam pola pemahaman, budaya dan cara beragama. Sehingga nilai-nilai Islam sebagai rahmatan lil alamin belum dapat meresapi seluruh daerah kekuasaan Islam. Tidak sedikit perlakuan buruk yang dilakukan oleh kaum muslim terhadap orang-orang Kristen, utamanya mereka yang hendak berziarah ke Baitul Maqdis. Namun, dengan meluasnya daerah kekuasaan, perekonomian muslim di timur tengah mengalami kemajuan yang pesat.
3. Jalannya Perang Salib.
a. Perang Salib I (1099).
Serangan salib pertama, pada tahuan 1099, di bawah pimpinan Gottfried von Bouillon merebut Yerusalem (Baitul Maqdis). Kemudian mendirikan negara-negara boneka di wilayah yang diduduki tentara salib. Pasukan salib berkuasa di daerah Yerusalem tepatnya pada bulan Juli 1099. Mereka terus berada di kota ini sampai dikalahkan oleh Sholahudin al-Ayubi pada tahun 1187. Dalam kekuasaan mereka, Dome of the Rock dijadikan gereja, sedangkan masjid al-Aqsha dijadikan kantor pusat para Ksatria Biarawan (Knight Templar’s) .
b. Perang Salib II (1147-1149)
Pasukan salib berusaha merebut wilayah-wilayah di sepanjang pantai laut tengah, baik yang dikuasai muslim maupun bukan, seperti wilayah Athena, Korinthia dan beberapa pulau-pulau Yunani.
c. Perang Salib III (1189-1192).
Serangan salib ketiga terjadi setelah Sholahuddin al Ayubi berhasil mempersatukan kembali wilayah-wilayah Islam di Mesir dan Syria. Pada 1171, Sholahuddin berhasil menyingkirkan kekuasaan Fathimiyah di Mesir yang merupakan separatisme dari Khilafah di Bagdad dan mendirikan pemerintahan Ayubiah tahun 1175 yang loyal kepada Khalifah. Pada 1187 Sholahudin berhasil merebut kembali Yerusalem. Serangan salib ketiga dipimpin oleh tokoh-tokoh Eropa yang terkenal, yaitu Friedrich I Barbarosa dari Jerman, Richard I Lionheart dari Inggris dan Phillip II dari Perancis. Namun, di antara mereka terjadi perselisihan dan persaingan yang tidak sehat. Sehingga Friedrich mati tenggelam, Richard tertawan, dan Phillip bergegas kembali ke Perancis .
d. Perang Salib IV (1202-1204).
Perang salib keempat terjadi ketika pasukan salib dari Eropa Barat ingin mendirikan kerajaan Norman (Eropa Barat) di atas puing-puing Yunani. Paus Innocentius III menyatakan pasukan salib telah murtad. Di Konstatinopel (Roma) permintaan pendirian kerajaan Norman menimbulkan perlawanan rakyat, hingga akhirnya tentara salib Eropa Barat membakar kota tersebut. Kemudian mendudukan kaisar dari mereka, dimana sebelumnya selalu dikuasai oleh orang Yunani.
e. Perang Salib Anak-anak (1212).
Peperangan pada tahun ini merupakan perang salib yang menoreh sejarah tersendiri yang tidak akan dilupakan oleh dunia. Hanya 201 dari 50.000 anak-anak yang pergi ke Baitul Maqdis kembali dalam keadaan masih hidup. Selama perjalanan sebagian dari mereka meninggal karena kelaparan, dijual sebagai budak oleh kapten kapal dan sebagian lagi ditawan sepanjang perjalanan ke Tanah Suci.
f. Perang Salib V (1218-1221).
Paus Innocentius dan Konzil Lateran IV, yang juga menetapkan undang-undang dan berbagai aturan anti Yahudi, mengumumkan serangan salib kelima. Untuk mendapatkan kembali kontrol atas pasukan salib, jabatan raja Yerusalem digantikan oleh wakil Paus. Jabatan sebagai raja Yerusalem hanyalah “formalitas de yure”, tanpa kekuasaan sesungguhnya. Karena secara de facto, Yerusalem telah direbut kembali oleh Sholahuddin al Ayubi.
g. Perang Salib VI (1228-1229)
Serangan salib keenam dipimpin oleh kaisar Jerman Freidrich II. Sebagai “orang yang dimurtadkan” dia berhasil merebut kembali Jerusalem. Paus terpaksa mengakui dia sebagai raja Yerusalem. Sepuluh tahun kemudian Yerusalem berhasil direbut kembali oleh kaum muslimin.
h. Perang Salib VII (1248-1254)
Serangan salib ketujuh (1248-1254) dipimpin oleh Paus Bonifatius IX dari Perancis yang telah dinobatkan sebagai “orang suci” oleh Paus Bonifatius VIII. Meski di negerinya Ludwig dikenal sebagai penegak hukum yang baik, namun ia tidak cakap memimpin organisasi sehingga justru tertangkap di Mesir. Terdapat pula beberapa peristiwa peperangan setelah perang salib ketujuh, namun mempertimbangkan keterkaitan dan konsistensi literatur, terdapat kerancuan yang lebih besar terhadap apakah peristiwa tersebut merupakan bagian dari perang salib atau tidak.

4. Pengaruh Perang Salib bagi Eropa.
Bangsa Eropa belajar berbagai disiplin ilmu yang saat itu berkembang di dunia Islam, lalu mengarangnya dalam buku-buku yang bagi dunia Barat tetap terasa mencerahkan. Mereka juga mentransfer industri dan teknologi konstruksi dari kaum muslimin, sehingga pasca perang salib terjadi pembangunan yang besar-besaran di Eropa. Gustav Lebon berkata: “Jika dikaji hasil perang salib dengan lebih mendalam, maka didapati banyak hal yang sangat positif dan urgen. Interaksi bangsa Eropa selama dua abad masa keberadaan pasukan salib di dunia Islam boleh dikatakan faktor dominan terhadap kemajuan peradaban di Eropa. Perang salib membuahkan hasil gemilang yang tak pernah mereka bayangkan sebelumnya.”
Perang Salib amat mempengaruhi Eropa pada Abad Pertengahan pada masa itu, sebagian besar benua dipersatukan oleh kekuasaan Kepausan akan tetapi pada abad ke-14 perkembangan birokrasi yang terpusat (dasar dari negara-bangsa modern sedang pesat di Perancis,Inggris, Burgundi , Portugal,Castilia). Hal ini sebagian didorong oleh dominasi gereja pada masa awal perang salib.
Meski benua Eropa telah bersinggungan dengan budaya Islam. Budaya Islam selama berabad-abad melalui hubungan antara Semenanjung Iberia dengan Sisilia, banyak ilmu pengetahuan dibidang-bidang sains, pengobatan dan arsitektur diserap dari dunia Islam ke dunia Barat selama masa perang salib.
Pengalaman militer perang salib juga memiliki pengaruh di Eropa, seperti misalnya, kastil-kastil di Eropa mulai menggunakan bahan dari batu-batuan yang tebal dan besar seperti yang dibuat di Timur, tidak lagi menggunakan bahan kayu seperti sebelumnya. Sebagai tambahan, tentara Salib dianggap sebagai pembawa budaya Eropa ke dunia, terutama Asia.
Bersama perdagangan, penemuan-penemuan dan penciptaan-penciptaan sains baru mencapai timur atau barat. Kemajuan bangsa Arab termasuk perkembangan aljabar, lensa dan lain lain mencapai barat dan menambah laju perkembangan di universitas-universitas Eropa yang kemudian mengarahkan kepada masa Renaissance pada abad-abad berikutnya.
Kebutuhan untuk memuat, mengirimkan dan menyediakan bala tentara yang besar menumbuhkan perdagangan di seluruh Eropa. Jalan-jalan yang sebagian besar tidak pernah digunakan sejak masa pendudukan Romawi terlihat mengalami peningkatan disebabkan oleh para pedagang yang berniat mengembangkan usahanya. Ini bukan saja karena Perang Salib mempersiapkan orang Eropa untuk bepergian akan tetapi lebih karena banyak orang ingin bepergian setelah diperkenalkan dengan produk-produk dari timur. Hal ini juga membantu pada masa-masa awal Renaissance di Itali karena banyak negara-kota di Itali yang sejak awal memiliki hubungan perdagangan yang penting dan menguntungkan dengan negara-negara Salib baik di Tanah Suci maupun kemudian di daerah-daerah bekas Byzantium
Pertumbuhan perdagangan membawa banyak barang ke Eropa yang sebelumnya tidak mereka kenal atau amat jarang ditemukan dan sangat mahal. Barang-barang ini termasuk berbagai macam rempah-rempah, gading, batu-batu mulia, teknik pembuatan barang kaca yang maju, bentuk awal dari mesiu, jeruk, apel, hasil-hasil tanaman Asia lainnya dan banyak lagi.
Keberhasilan untuk melestarikan Katolik Eropa, bagaimanapun, tidak dapat mengabaikan kejatuhan Kekaisaran Kristen Byzantium, yang sebagian besar diakibatkan oleh kekerasan tentara Salib pada Perang Salib Keempat terhadap Kristen Orthodox Timur, terutama pembersihan yang dilakukan oleh Enrico Dandolo yang terkenal, penguasa Venesia dan sponsor Perang Salib Keempat. Tanah Byzantium adalah negara Kristen yang stabil sejak abad ke-4.
C. Kesimpulan.
1. Ada beberapa faktor penyebab terjadinya perang salib yaitu; faktor sejarah , faktor agama, faktor politik dan faktor sosial ekonomi.
2. Perang salib terjadi berulang-ulang kali, sampai tujuh kali dalam catatan sejarah.
3. Perang salib disamping membawa pengaruh jelek bagi Eropa, tapi juga banyak membawa pengaruh positif bagi Eropa, berupa kemajuan pesat ilmu pengetahuan dan tehnologi, ekonomi, industri dan bidang-bidang kemajuan lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Dudung dkk (2003), Sejarah Peradaban Islam Dari Masa Klasik Hingga Modern, Penerbit LESFI, Yogyakarta.

Amhar, Fahmi (2005), Kilas Balik Perang Salib, hayatulislam.net,Anonim,The Crusader, Http://en.wikipedia.org, download tanggal 12 September 2006.

End, van Den dan Jonge, Christian de (2001), Sejarah Perjumpaan Gereja dan Islam, Sekolah Tinggi Teologi, Jakarta.

Kuntowijoyo (2003), Metodologi Sejarah, PT. Tiara Wacana, Yogyakarta (2005),

Said, Edward W. (2002), Covering Islam, Penerbit Jendela, Yogyakarta.

Yatim, Badri (2004), Sejarah Peradaban Islam, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

KAJIAN 'ILLAT HUKUM

‘ILLAT QIYAS DAN USAHA PENEMUANNYA
Oleh : Drs. H. Insyafli, M.HI



A.Pendahuluan.


Hukum Islam memiliki beberapa sumber yang sangat luas. Ada yang bersifat tekstual atau Nash (dalam hal ini ada dua macam nash yang merupakan dua sumber utama dalam hukum Islam, yaitu al-Quran dan al-Hadits) dan ada pula yang bersifat non tekstual karena disamping dua sumber utama itu masih banyak lagi sumber pelengkap yang mampu menjabarkan dan memperluas arti dari kedua sumber utama tadi, diantaranya kita mengenal qiyas atau dapat diterjemahkan dengan analogi.
Secara bahasa, qiyâs merupakan bentuk masdar dari kata qâsa- yaqîsu, yang artinya ukuran, mengetahui ukuran sesuatu. Misalnya, “Fulan meng-qiyaskan baju dengan lengan tangannya”, artinya mengukur baju dengan lengan tangannya; artinya membandingkan antara dua hal untuk mengetahui ukuran yang lain. Secara bahasa juga berarti “menyamakan”, dikatakan “Fulan meng-qiaskan extasi dengan minuman keras”, artinya menyamakan antara extasi dengan minuman keras
Dalam perkembanganya, kata qiyâs banyak digunakan sebagai ungkapan dalam upaya penyamaan antara dua hal yang berbeda, baik penyamaan yang berbentuk inderawi, seperti pengkiasan dua buah buku. Atau maknawiyah, misalnya “Fulan tidak bisa dikiaskan dengan si Fulan”, artinya tidak terdapat kesamaan dalam ukuran.
Banyak definisi yang dibuat oleh para ahli ilmu ushul fiqih tentang qiyas, diantaranya qiyas didefenisikan sebagai : “ Mempersamakan hukum sesuatu kasus yang tidak dinashkan, dengan hukum kasus lain yang dinashkan karena adanya persamaan ‘illat hukumnya”.
Imama Baidhowi dan mayoritas ulama Syafi’iyyah mendefinisikan qiyâs sebagai berikut:
“Membawa (hukum) yang (belum) di ketahui kepada (hukum) yang diketahui dalam rangka menetapkan hukum bagi keduanya, atau meniadakan hukum bagi keduanya, baik hukum maupun sifat.”.
DR. Wahbah al-Zuhaili mendefinisikan qiyâs dengan
“Menyatukan sesuatu yang tidak disebutkan hukumnya dalam nash dengan sesuatu yang disebutkan hukumnya oleh nash, disebabkan kesatuan illat antara keduanya”.
Jumhur ulama memandang bahwa Qiyas merupakan salah satu di antara dalil syariat (sumber hukum) yang menduduki martabat keempat setelah al-Quran, Al-Hadits, dan Ijma. Qiyas digunakan pada suatu fakta jika tidak didapati hukum dari nash-nash al-Quran, al-Hadits, atau Ijma. Jika hukum syariat atas suatu fakta ditetapkan melalui nash dan didasarkan pada suatu illat (motif penetapan hukum), maka hukum syariat dapat diterapkan pada fakta lain yang tidak ada nashnya yang memiliki illat yang sama.
Qiyas dapat dijadikan dasar untuk menghukumi fakta-fakta yang tidak ada nashnya dalam al-Quran, al-Hadits, dan Ijma. Dengan kata lain, Qiyas mengatasi problem keterbatasan nash pada satu sisi dan problem manusia yang tak terbatas pada sisi lain. Bahkan, Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan bahwa tidak ada seorang pun yang tidak membutuhkan Qiyas. Imam al-Muzani juga berkata, para fuqaha (ahli fiqih) sejak masa Rasulullah saw. hingga hari ini selalu menggunakan qiyas-qiyas dalam masalah fiqih atau hukum-hukum dalam urusan agama mereka.
Banyak peristiwa yang tidak disebut secara eksplisit di dalam nash al-Quran dan al-Hadits, bahkan lebih banyak dari peristiwa yang disebut di dalam nash, hukumnya disamakan dengan jalan qiyas. Meskipun qiyas merupakan sumber hukum tambahan, namun peranannya dalam perkembangan hukum Islam tidaklah kecil. Untuk itu dalam makalah ini penulis mencoba menjelaskan tentang qiyas ini, dengan focus bahasan kepada ‘illat qiyas dan usaha penemuannya.

B. Pembahasan.
1. Rukun Qiyâs
Berdasarkan pengertian secara istilah, rukun qiyâs dapat dibagi menjadi empat, yaitu:
a. Al-ashlu
Para fuqaha mendefinisikan al-ashlu sebagai objek qiyâs, dimana suatu permasalahan tertentu dikiaskan kepadanya (al-maqîs ‘alaihi), dan musyabbah bih (tempat menyerupakan), juga diartikan sebagai pokok, yaitu suatu peristiwa yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash.
Imam Al-Amidi dalam al-Mathbu’ mengatakan bahwa al-ashlu adalah sesuatu yang bercabang, yang bisa diketahui (hukumnya) sendiri.
Contoh, pengharaman ganja sebagai qiyâs dari minuman keras adalah dengan menempatkan minuman keras sebagai sesuatu yang telah jelas keharmannya, karena suatu bentuk dasar tidak boleh terlepas dan selalu dibutuhkan Dengan demiklian maka al-aslu adalah objek qiyâs, dimana suatu permasalahan tertentu dikiaskan kepadanya.
b. Hukmu al-ashli
Atau hukum asli; adalah hukum syar’i yang ada dalam nash atau ijma’, yang terdapat dalam al-ashlu..
c. Al-far’u
Adalah sesuatu yang dikiaskan (al-maqîs), karena tidak terdapat dalil nash atau ijma’ yang menjelaskan hukumnya.
d. Al-‘illah
Adalah sifat hukum yang terdapat dalam al-ashlu, dan merupakan benang merah penghubung antara al-ashlu dengan al-far’u, seperti “al-iskâr”.

2. Pengertian’Illat.
Ensiklopedi Hukum Islam jilid 2 menyebutkan ‘illat (Arb, al-‘illah) sebagai penyebab berubahnya sesuatu. Malah di dalam ensikopedi ini ditegaskan bahwa ‘illat dalam kajian ushul fiqih, merupakan permasalahan pokok dalam pembahasan kias (qiyas).
Ulama usul fiqih menyatakan bahwa apabila disebut ‘illat maka yang dimaksudkan adalah :

1. Suatu hikmah yang menjadi motivasi dalam menetapkan hukum, berupa pencapaian kemaslahatan atau menolak kemudaratan. Misalnya tecapainya berbagai manfaat bagi orang-orang yang melakukan transaksi jual beli, karena jual beli itu dibolehkan. Terpeliharanya keturunan yang diakibatkan oleh diharamkannya perzinaan dan terpeliharanya akal manusia disebabkan diharamkannya meminum khamar.

2. Sifat zahir yang dapat diukur yang sejalan dengan sesuatu hukum dalam mencapai sesuatu kemaslahatan baik berupa manfaat untuk manusia maupun menghindari kemudaratan bagi manusia, karena menolak dan menghindari kemudaratan bagi manusia termasuk suatu kemaslahatan.


Pengertian sifat yang zahir adalah sesuatu sifat yang terdapat dalam suatu hukum yang bisa dinalar oleh manusia. Sedangkan pengertian bisa diukur adalah berlaku umum untuk setiap individu . misalnya pencurian, pembunuhan dengan sengaja, perzinaan, merupakan sifat yang dapat diukur dan dinalar oleh akal manusia dan berdasarkan sifat itu disyari’atkan hukuman potong tangan bagi si pencuri, qishash bagi pembunuh dengan sengaja dan dera atau rajam bagi pezina.
Kemaslahatan yang akan dicapai dari penerapan hukum ini adalah terpeliharanya harta, jiwa dan kehormatan seseorang, bahkan lebih jauh lagi terpeliharanya stabilitas masyarakat..
‘Illat adalah sifat hukum yang terdapat dalam al-ashlu ( peristiwa asal ), dan merupakan benang merah penghubung antara al-ashlu dengan al-far’u ( peristiwa cabang yang akan dikiyaskan ), seperti “al-iskâr”.
H.A Djazuli mendefinisikan ‘illat sebagai berikut, “ Suatu sifat yang nyata dan tertentu yang berkaitan atau munasabah dengan ada atau tidak adanya hukum. Disini Djazuli menyebut ‘illat itu sebagai suatu sifat yang mudah diamati dan munasabah untuk dipautkan adanya atau tidak adanya hukum kepada sifat tersebut.

3. Syarat-syarat ‘Illat
Lebih lanjut Djazuli merinci definisi diatas dengan memberi beberapa syarat yang harus dipenuhi agar sesuatu sifat itu dapat dijadikan sebagai suatu ‘illat, sebagai berikut :

a. ‘Illat itu harus merupakan sifat yang nyata, artinya dapat diindra. Tanpa diketahui dengan jelas adanya ‘illat kita tidak dapat menqiyaskan . Seperti sifat memabukan dapat diindra adanya pada khamar.
b. ‘Illat harus merupakan sifat yang tegas dan tertentu, dalam arti dapat dipastikan adanya pada kasus cabang (furu’)
c. ‘Illat hukum mempunyai kaitan dengan hikmah hukum dalam arti ‘illat tadi merupakan penerapan hukum untuk mencapai maqashidu syari’ah.. Seperti memabukan ada kaitannya dengan keharaman khamar. Keharaman tadi hikmahnya adalah dalam rangka memelihara akal manusia.
d. ‘Illat bukan sifat yang hanya terdapat pada kasus ashal, sebab kalau sifat itu hanya terdapat pada kasus ashal maka tidak mungkin di qiyaskan/dianalogikan. Seperti kekhususan-kekhususan Rasulullah saw tidak bisa diqiyaskan kepada orang lain
e. ‘Illat tidak berlawanan dengan nash. Apabila ‘illat berlawanan dengan nash maka nash-lah yang didahulukan..
f. ‘Illat, menurut Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, adalah suatu perkara yang menjadi latar belakang bagi pensyariatan suatu hukum (asy-syaiu alladzî min ajlihi wujida al-hukm). Dengan kata lain, illat adalah suatu perkara yang menjadi motif (latar belakang) penetapan suatu hukum (al-amr al-bâits alâ al-hukm). ‘Illat disebut juga ma’qûl an-nash. Dengan itu, akal dapat menghukumi masalah cabang dengan hukum yang ada pada masalah pokok, karena pada keduanya ada ‘illat yang sama. ‘Illat merupakan jawaban dari pertanyaan mengapa suatu hukum disyariatkan.

Jawaban inilah yang oleh para ulama ushul disebut dengan istilah washf munâsib, yaitu sifat (makna) yang sesuai yang menjadi latar belakang penetapan hukum; atau washf mufham, yakni suatu sifat (makna) yang dapat dipahami sebagai latar belakang penetapan hukum. Sifat (makna) ini harus sedemikian rupa sehingga memberikan pengaruh (atsar) pada hukum. Jika tidak memberikan pengaruh hukum, sifat itu bukanlah ‘illat..
Bila kita ingin menyempitkan persyaratan-persyaratan ‘illat, maka dapat kita jelaskan disertai dengan beberapa contoh sebagai berikut :
a. Bisa dijangkau oleh pancaindra secara zhahir. Contohnya : Memabukkan bisa dirasakan oleh indra (untk hukum khamr), ukuran jenis benda yang sama dapat diukur/dihitung oleh indra (untuk hukum riba). Contoh lain : Masuknya air mani tidak bisa jadi ‘illat hubungan nasab karena tidak bisa dilihat, maka diambil yang dapat diindrai yaitu terjadinya akad-nikah. Suka sama suka juga tidak bisa dijadikan ‘illat, untuk jual-beli karena tidak dapat diindrai, maka diambil ‘illat-nya yaitu shighat akad/ijab-kabul. Sempurna akalnya/dewasa juga tidak bisa jadi ‘illat. untuk pendelegasian wewenang/kekuasaan, maka diambil ‘illat yg nyata yaitu tanda-tanda baligh
b. Bersifat pasti, tertentu, terbatas dan dapat dibuktikan wujudnya pada cabang dengan cara membatasinya. Contohnya : Pembunuhan, muwarits oleh ahli waris, bisa disamakan dengan pembunuhan pada pemberi wasiat. Atau paksaan yg dilakukan dalam jual-beli, bisa disamakan dengan paksaan dalam sewa-menyewa.
c. Harus ada sifat yang sama, sebagai dasar asumsi bagi mewujudkan hikmah hukum. Jika ada hukum yang hikmahnya nyata dan pasti maka hikmah hukum tersebut sekaligus juga merupakan ‘illat-nya. Contohnya : Memabukkan merupakan ‘illat, yang hikmahnya untuk memelihara akal. Membunuh dan menganiaya adalah ‘illat untuk melakukan qishash yang hikmahnya untuk memelihara hak kemanusiaan. Mencuri adalah ‘illat untuk melakukan had, yang hikmahnya untuk memelihara hak-milik manusia. Tidak sah jika mensenaraikan sesuatu yang tidak dapat dibuktikan secara nyata/pasti. Contohnya : Menentukan hukum khamr berdasar warnanya (karena sering melihat khamr berwarna merah). Atau menentukan hukum penjual narkoba berdasarkan warna kulitnya (karena sering melihat penjual narkoba berkulit hitam), atau menentukan hukum had pada orang Manado (karena melihat orang Manado sering berbuka di siang hari di bulan Ramadhan.
d. Harus tidak hanya terbatas pada sifat asal. Melainkan bisa dijumpai pada selain asal. Jika ia hanya ada pada asal saja, maka tidak dapat dijadikan sebagai dasar hukum. Contohnya : Hukum khushusiyyah yang berlaku hanya pada nabi SAW, maka ‘illat-nya adalah nabi Muhammad SAW, maka tidak bisa dikiaskan pada orang lain. Seperti menikah dengan 9 orang istri, atau bahwa istri beliau haram dinikahi sepeninggal beliau. Contoh lain (yang juga tidak sah) : Memberi ‘illat pada khamr karena ia adalah perasan anggur, membatasi harta ribawi hanya sejumlah 6 macam (yang ada dalam nash) saja, dll kesemuanya itu adalah tidak sah.

2. Usaha Penemuan ‘Illat

Masalikul ‘Illat adalah cara atau metode yang digunakan untuk mengetahui ‘illat. Lebih lanjut Djazuli menjelaskan bahwa ada tiga cara yang popular di kalangan ulama ushul fiqih sebagai usaha atau upaya agar kita dapat menemukan dan mengetahui ‘illat hukum yaitu sebagai berikut :

a. Dengan Nash.
Dalam hal ini, kadang-kadang nash menunjukkan suatu sifat tertentu yang merupakan ‘illat dari suatu hukum. ‘Illat yang demikian dinamakan oleh ulama dengan “al-mansush ‘alaih”.
‘Illat yang ditunjukkan oleh nash adakalanya tegas (sharih) dan adakalanya tidak tegas atau dengan isyarat. ‘Illat yang ditunjukkan oleh Nash itu sendiri dengan memperhatikan kata-kata yang digunakannya seperti kata-kata, li alla, kay , li ajli seperti contoh ayat yang artinya ;“(Mereka kami utus) selaku Rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya Rasul-rasul itu”.(an-Nisa’ ayat 165)

Adapun ‘illatnya dengan isyarat seperti dalam hadits Nabi SAW berikut ini;

لا يقضى القا ضى و هو غضا ن

“Tidak boleh seseorang hakim menjatuhkan hukuman ketika sedang marah”
b. Dengan Ijma’
Apabila Ijma’ itu qath’iy. Dan sampainya kepada kita juga qath’i dan adanya ‘illat itu dalam cabang juga demikian, serta tidak ada dalil yang menantangnya, maka hukumnya qath’i. Apabila tidak demikian halnya hukumnya bernilai dhanni.

Contoh ‘illat yang diketahui melalui ijma’ seperti mendahulukan saudara laki-laki seibu sebapak dari pada sudara laki-laki sebapak dalam warisan karena talian kekerabatan ibu. Dengan qiyas pula didahulukan anak paman seibu sebapak dari anak paman sebapak, anak saudara laki-laki seibu sebapak dari anak saudara laki-laki sebapak. Dengan qiyas pula didahulukan saudara laki-laki seibu sebapak dari saudara laki-laki sebapak dalam perwalian nikah.

c. Dengan al-Sabr wa al-Taqsim.
Yaitu dengan cara mencari dan meneliti ‘illat yang paling tepat diantara beberapa kemungkinan ‘illat . Ini adalah pekerjaan seorang mujtahid dalam memilih mana yang paling tepat menjadi ‘illat. Untuk mengetahui ‘illat seperti itu sudah tentu diperlukan suatu pemahaman yang mendalam baik tentang sistem hukum Islam secara keseluruhan, maksud syara’ maupun perinciannya disamping diperlukan ketajaman berpikir.

Menurut Taqiyuddin an-Nabhani, dalam kitabnya Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, juz III halaman 343, berdasarkan istiqrâ’ (penelaahan induktif) terhadap nash-nash syariat dalam al-Quran dan as-Sunnah, terdapat 4 (empat) macam ‘illat syar’iyyah, yaitu:

1) ‘illat sharâhah;
2) ‘illat dalâlah;
3) ‘illat istinbâth;
4) ‘illat qiyâs.

Ad.. 1) ‘Illat sharâhah adalah ‘illat yang terdapat dalam nash yang secara jelas (sharâhah) menunjukkan adanya ‘illat. Ciri utama ‘illat sharâhah ini adalah digunakannya kata-kata tertentu yang dalam bahasa Arab menunjukkan adanya ‘illat (li at-ta’lîl). ‘Illat sharâhah ini ada dua macam:

Pertama, yang menggunakan secara jelas kata li ajl atau min ajl (bermakna: karena) dan yang semisalnya. Contohnya adalah sabda Nabi saw. Yang artinya ;“Dulu aku melarang kalian menyimpan daging-daging kurban untuk memberi makan orang-orang Baduwi yang datang berombongan lagi membutuhkan. Sekarang, simpanlah daging-daging kurban itu”. Hukum dalam hadis ini adalah larangan menyimpan daging kurban karena ‘illat tertentu, yaitu ‘illat sharâhah, yang terdapat pada frasa li ajl ad-dâfah, yaitu supaya daging kurban itu dapat diberikan kepada rombongan orang Baduwi yang berkeliling dan membutuhkan daging.

Kedua, yang menggunakan secara jelas huruf-huruf ta’lîl (huruf yang menunjukkan ‘illat), seperti kay, lam, ba, dan inna. Yang menggunakan kay (berarti: agar, supaya), misalnya, pada firman Allah Swt yang artinya: “Supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kalian.” (QS al-Hasyr [59]: 7). Ayat ini menjelaskan bahwa pemberian harta fai’ Bani Nadhir oleh Rasulullah kepada kaum Muhajirin saja, tidak termasuk kaum Anshar, adalah karena adanya ‘illat tertentu (‘illat sharâhah), yakni agar harta tidak beredar di antara orang kaya saja, tetapi bergulir juga di tengah-tengah selain orang kaya.
Yang menggunakan lam (dibaca li yang berarti: karena), misalnya, pada firman Allah Swt yang artinya; “Tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami lalu menikahkan kamu (Muhammad) dengannya supaya tidak ada keberatan bagi orang Mukmin untuk (mengawini) istri-istri dari anak-anak angkat mereka.” (QS al-Ahzab [33]: 37). Ayat ini mengandung ‘illat bahwa dikawinkannya Rasulullah saw. dengan Zainab yang telah diceraikan oleh Zaid adalah supaya kaum Mukmin tidak merasa berat hati untuk mengawini bekas istri dari anak-anak angkat mereka.
Yang menggunakan ba (dibaca bi, berarti: karena, sebab), misalnya, terdapat pada firman Allah Swt yang artinya; “Karena rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka”. (QS Ali ?Imran [3]: 159). Dalam ayat ini terdapat ‘illat sharâhah dengan huruf ba, yakni pada frasa fabimâ rahmatin min Allâh (Karena rahmat dari Allah). Jadi, ‘illat yang menyebabkan sifat lembut pada Nabi saw. adalah karena adanya rahmat Allah Swt.
Yang menggunakan inna (berarti: karena, sesungguhnya), misalnya, pada sabda Nabi saw yang artinya; “Dulu aku melarang kalian untuk berziarah kubur. Sekarang, berziarahlah kalian ke kuburan, karena ziarah kubur itu mengingatkan pada alam akhirat”. (HR Malik dari Anas bin Malik). Hadis tersebut mengandung ‘illat sharâhah dengan huruf inna, yakni pada frasa fainnaha tudzakkiru al-akhirah (karena ziarah kubur itu mengingatkan pada alam akhirat). Jadi, ‘illat disyariatkannya ziarah kubur adalah untuk mengingat alam akhirat.

Ad. 2) ‘Illat Dalâlah. dalâlah adalah ‘illat yang diambil dari adanya tuntutan/konsekuensi yang dipahami dari makna kata (madlûl al-lafazh). Disebut ‘illat dalâlah karena ‘illat ini diperoleh dari dalâlah (makna) suatu kata. ‘Illat ini tidak diambil dari kata-kata tertentu yang dalam bahasa Arab secara langsung menunjukkan adanya ‘illat (li at ta’lîl) seperti min ajl, li ajl, dan sejenisnya; tetapi diambil dari mafhûm (makna tersirat/kontekstual) kata, bukan dari manthûq (makna tersurat/tekstual)-nya.
Ciri adanya ‘illat dalâlah ini ada dua:
Pertama, digunakannya kata-kata tertentu yang menurut bahasa Arab, dalam ungkapan tekstualnya tidak menunjukkan ‘illat (li ta’lîl) tetapi dalam ungkapan kontekstualnya menunjukkan adanya ‘illat. Contohnya adalah fa ta’qîb (kata fa yang menunjukkan tertib/urutan, bermakna: maka) dan hatta al-ghayah (kata hatta yang menunjukkan tujuan, berarti: hingga).
Yang menggunakan fa ta’qîb, misalnya, terdapat pada sabda Nabi saw yang artinya; “ Barangsiapa yang menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya. Aktivitas menghidupkan tanah mati (ihyâ’ al-mawât), yang ditunjukkan oleh penggunaan fa ta’qîb (fa tasbîb), menunjukkan bahwa aktivitas tersebut merupakan ‘illat atas kepemilikan tanah.
Yang menggunakan kata hatta untuk menunjukkan tujuan, misalnya, terdapat pada firman Allah Swt yang artinya; “Jika seorang di antara orang-orang musyrik itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia dapat mendengarkan firman Allah”. (QS at-Taubah [9]: 6). Dari ayat ini, dapat dipahami bahwa ‘illat melindungi orang musyrik adalah memberikan kesempatan kepadanya untuk mendengar firman Allah, yakni agar dakwah sampai kepadanya.
Kedua, bahwa ketika nash tertentu menyebutkan hukum, disebutkan juga adanya washf mufham munâsib, yaitu sifat atau makna tertentu yang dapat dipahami dan sesuai yang menjadi ‘illat hukum. Contohnya terdapat pada sabda Nabi saw yang artinya; “Pembunuh tidak berhak mewarisi”.. Hadis ini mengandung ‘illat keluarnya seseorang dari golongan ahli waris, yakni karena seseorang itu melakukan tindak pembunuhan. Kata al-qâtil (pembunuh) merupakan sifat atau makna yang dapat dipahami sebagai ‘illat hukum. Contoh lainnya terdapat pada sabda Nabi saw yang artinya; “Pada domba yang digembalakan ada kewajiban zakat”. Kata as-sâ’imah (yang digembalakan) dalam hadis ini merupakan ‘illat atas kewajiban zakat bagi binatang ternak.

Ad. 3) ‘Illat Istinbâth adalah ‘illat yang di-istinbâth (digali) dari susunan (tarkîb) nash yang tidak disebutkan secara tegas (sebagaimana ‘illat sharâhah) ataupun secara dalâlah (sebagaimana ‘illat dalâlah). ‘Illat ini dapat diambil dari satu nash atau beberapa nash.
Ciri utama illat istinbâth adalah adanya keadaan tertentu pada saat syariat memerintahkan atau melarang sesuatu. Lalu syariat melarang apa yang diperintahkan atau memerintahkan apa yang dilarang itu setelah keadaan tertentu itu lenyap. Dari sini dapat dipahami bahwa keadaan tertentu tersebut merupakan ‘illat dari hukum yang ada.

Contohnya adalah ‘illat keharaman jual-beli saat azan Jumat dikumandangkan, yaitu dapat melalaikan shalat Jumat, yang digali dari surat al-Jumu’ah ayat 9 dan 10. Dalam ayat 9, Allah swt. berfirman yang artinya;”Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada Hari Jumat, bersegeralah kalian mengingat Allah, dan tinggalkanlah jual-beli”. (QS al-Jumu?ah [62]: 9). Pada ayat ini, Allah Swt. melarang jual- beli pada kondisi tertentu, yaitu saat azan Jumat. Lalu pada ayat berikutnya, Allah Swt. Berfirman yang artinya;”Apabila shalat Jumat telah ditunaikan, bertebaranlah kalian di muka bumi dan carilah karunia Allah”. (QS al-Jumu?ah [62]: 10). Pada ayat ini Allah memerintahkan kaum Muslim bertebaran di muka bumi dan mencari karunia-Nya. Dengan kata lain, Allah membolehkan kembali jual-beli. Kebolehan jual-beli ini terkait dengan lenyapnya kondisi tertentu yang menjadi ‘illat larangan jual-beli, yaitu usainya pelaksanaan shalat Jumat. Dari sini lalu digali ‘illat keharaman jual-beli pada saat azan Jumat, yaitu melalaikan shalat Jumat. ‘Illat ini tidak disebut secara sharâhah ataupun dalâlah.

Contoh lainnya adalah ‘illat atas kepemilikan umum pada suatu benda, yaitu menjadi kebutuhan orang banyak. Nabi saw. Bersabda yang artinya; “Kaum Muslim berserikat dalam tiga benda: air, padang gembalaan, dan api”. Dalam hadis ini Nabi saw. menyatakan bahwa air adalah milik bersama atau, dengan kata lain, Nabi saw. melarang umatnya untuk memiliki air secara individual. Namun demikian, dalam hadis lain Nabi saw. membolehkan orang-orang di Thaif dan Khaybar untuk memiliki air secara individual. Dari sini lalu digali ‘illat yang melatarbelakangi mengapa air menjadi milik bersama, yaitu karena air dibutuhkan oleh orang banyak (wujûd al hâjah li al-jamâ’ah). Jadi, larangan memiliki air secara individual pada hadis di atas bukan karena zat airnya itu sendiri, tetapi karena kondisi tertentu yang terjadi pada air, yaitu menjadi kebutuhan orang banyak. Hal ini dibuktikan pada bolehnya orang-orang Thaif dan Khaybar untuk memiliki air secara individual, karena air di sana jumlahnya mencukupi, sehingga orang banyak tidak mempunyai kebutuhan terhadap air.

Ad. 4) ‘Illat qiyâs. adalah ‘illat baru yang diperoleh dari ‘illat yang lama yang dapat diqiyaskan pada ‘illat-‘illat lain. ‘Illat qiyâs ini hanya terwujud pada illât dalâlah yang secara khusus mempunyai washf mufham, yakni sifat atau makna tertentu yang dapat dipahami sebagai ‘illat, yang berpengaruh terhadap hukum. Dari ‘illat lama ini lalu diperoleh ‘illat baru, yang disebut dengan ‘illat qiyâs. Contohnya terdapat pada sabda Nabi saw yang artinya;”Tidaklah seorang hakim memberikan keputusan hukum sedangkan dia sedang marah”.

Dalam hadis ini terdapat ‘illat (yaitu ‘illat dalâlah) mengenai haramnya hakim mengadili dalam keadaan sedang marah. Keadaan marah (al-ghadhab) ini merupakan washf mufham, yaitu sifat/keadaan tertentu yang dapat dimengerti sebagai ‘illat, yang mempunyai pengaruh pada aktivitas mengadili perkara. Sebab, dalam kondisi marah, seorang hakim akan mengalami kekacauan pikiran dan kelabilan emosi. Kekacauan pikiran dan kelabilan emosi ini merupakan ‘illat baru yang dihasilkan dari ‘illat lama, yaitu keadaan marah. ‘Illat baru tersebut disebut ‘illat qiyâs, karena diqiyaskan pada ‘illat lain keadaan lapar atau sedih yang bertitik temu pada sifat tertentu yang sama, dalam hal ini adalah kekacauan pikiran dan kelabilan emosi. Dengan illat qiyâs tersebut dihasilkan hukum-hukum baru, misalnya, haramnya mengadili perkara bagi hakim yang sedang kelaparan atau sedang mengalami kesedihan.

C. Kesimpulan.

Setelah memahami uraian di atas, maka dapatlah ditarik beberapa kesimpulan dari makalah ini sebagai berikut :

1. Secara bahasa, qiyâs merupakan bentuk masdar dari kata qâsa- yaqîsu, yang artinya ukuran, mengetahui ukuran sesuatu. Misalnya, “Fulan meng-qiyaskan baju dengan lengan tangannya”, artinya mengukur baju dengan lengan tangannya; artinya membandingkan antara dua hal untuk mengetahui ukuran yang lain
2. ‘Illat adalah suatu hal yang menjadi latar belakang bagi pensyariatan suatu hukum (asy-syaiu alladzî min ajlihi wujida al-hukm). Dengan kata lain, ‘illat adalah suatu hal yang menjadi motif (latar belakang) penetapan suatu hukum (al-amr al-bâits alâ al-hukm). ‘Illat disebut juga ma’qûl an-nash. Dengan itu, akal dapat menghukumi masalah cabang dengan hukum yang ada pada masalah pokok, karena pada keduanya ada ‘illat yang sama. ‘Illat merupakan jawaban dari pertanyaan mengapa suatu hukum disyariatkan.
3. Terdapat 4 (empat) macam ‘illat syar’iyyah, yaitu:
‘illat sharâhah;
‘illat dalâlah;
‘illat istinbâth;
‘illat qiyâs.
4. Masalikul ‘Illat adalah cara atau metode yang digunakan untuk mengetahui ‘illat. Lebih lanjut Djazuli menjelaskan bahwa ada tiga cara yang popular di kalangan ulama ushul fiqih sebagai usaha atau upaya agar kita dapat menemukan dan mengetahui ‘illat hukum yaitu sebagai berikut
4. Cara untuk mengetahui suatu ‘illat hokum (asalikul ‘Illat ) dapat ditempuh melalui tiga jalur yaitu :
a. Menelusuri Nash Al-qur’an dan Hadits.
b. Menelusuri Ijma’
c. Dengan al-Sabr wa al-Taqsim























DAFTAR PUSTAKA


Abdul Azis Dahlan [at al] Ensiklopedi Hukum Islam, jilid 2, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1997

Al-Hâfidz Muhammad ‘Aly bin Muhammad as-Syaukâni, Sya’ban Muhammad Ismail, Dr. ed et, Irsyâdu al-Fuhul ila Tahqiqi min ‘Ilmi al-Ushul, Dâr al-Salâm, Iskandariah, Kairo, juz. II. 2006

Prof. Dr. Abdul Karim Zaidan, al-Wajîz fiy Usuli al-Fiqh, Muassisatu al-Risalah, Beirut, 1996

H.A.Djazuli, Ilmu Fiqih, Penggalian, Perkembangan dan Penerapan Hukum Islam, Jakarta,Kencana,2005

__________, Ushul Fiqh, Gilang Aditya Presa, Cetakan II, 1996.

Dr. Shaleh Zaidân, Hujjiyatul Qiyâs, Dâr al-Shahwah, Hilwan, Kairo, cet. I. 1987

Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah

Abdul Wahab Khalaf; Ilmu Ushul al Fiqh, al-dar al-Kawaetiyah, Mesir, cetakan ke-8 1968.

A.Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, Bulan Bitang, Jakarta, Cetakan I, 1970.
Dr. Wahbah Zuhaili, Usul al-Fiqh al-Islâmi, Dâr al-Fikr, Damsyiq, juz. II. 2005

Selasa, 05 Mei 2009

OLE-OLE DARI MEGA MENDUNG

LAPORAN
PELATIHAN PENDALAMAN MATERI EKONOMI SYARI’AH
HAKIM TINGKAT PERTAMA DAN BANDING
PERADILAN AGAMA SELURUH INDONESIA
Oleh : DRS.H. INSYAFLI M.HI
Hakim Tinggi PTA Padang

A. Pendahuluan.

Pelatihan pendalaman materi hukum adalah suatu kegiatan yang sangat bermanfaat, bagi seorang Hakim tidak terkecuali Hakim Tinggi, karena dengan pelatihan pengetahuan dan pengalaman, akan diasah sehingga akan tajam dan terbaharui kembali. Apalagi mengingat bahwa materi ekonomi syari’ai bagi dunia peradilan agama adalah materi yang masih baru, dan kasus atau sengketa ekonomi syari’ah yang diajukan ke Pengadilan Agama, jumlahnya masih sangat sedikit. Melalui pelatihan ini, pengetahuan teoritis dan pengalaman akan bisa ditularkan antara, para Pengajar dengan peserta pelatihan, bahkan antara sesama peserta.
Sebagai pertanggung jawaban kepada Pimpinan yang telah mengizinkan penulis mengikuti pelatihan tersebut, dan agar lebih banyak lagi manfaatnya bila pengetahuan dan pengalaman yang didapat memalui pelatihan itu, bisa menyebar pula kepada para hakim yang lainnya, yang tidak mengikuti pelatihan. Untuk tujuan itu laporan ini penulis susun meskipun dalam bentuk yang sederhana saja.

B. Penyelenggara, Waktu dan Tempat
Adapun pihak penyelenggara acara pelatihan pendalaman materi Ekonomi Syari’ah kali ini adalah, Mahkamah Agung RI, dalam hal ini adalah Pusat Pendidikan dan Pelatihan Teknis Peradilan Mahkamah Agung Republik Indonesia.
Sedangkan waktu penyelenggaraannya adalah dari tanggal 19 April sampai dengan tanggal 24 April 2009. Tempat penyelenggaraan di Pusdiklat Mega Mendung, Bogor.

C. Peserta
Peserta berasal dari seluruh Indonesia, dari Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah dan Pengadilan Tingga Agama/Mahkamah Syar’iyyah Propinsi. Dari Pengadilan Agama ada sebanyak 51 orang peserta dari Pengadilan Tinggi Agama sebanyak 29 orang peserta. Peserta dari Pengadilan Tinggi Agama Padang Drs.H.Insyafli, M.HI, dari Pengadilan Agama Padang Drs.Kamardi. SH dan dari Pengadilan Agama Bukittinggi Drs.Jeferson Dt.Lurah.
Peserta dibagi ke dalam dua kelas, yaitu kelas A sebanyak 40 peserta, 15 peserta dari Hakim Tinggi dan 25 peserta dari Hakim pertama, dan kelas B sebanyak 40 peserta, 14 peserta dari Hakim Tinggi dan 16 peserta dari Hakim Pertama. Sedangkan penulis sendiri termasuk kelas A.

D. Materi Pelatihan dan Tenaga Pengajar.
Adapun materi yang didalami dalam pelatihan ini semuanya berkaitan dengan bidang ekonomi syari’ah yang menjadi menjadi kompetensi absolut Pengadilan Agama adalah sebagai berikut;
1. Aspek Hukum Perbankan Syari’ah oleh : Drs.H.Andi Syamsu Alam,SH,MH.
2. BMT dan BPR Syari’ah oleh : Drs.H.Muchtar Zamzami,SH,MH.
3. Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah oleh : Prof.DR.H.Jaih Mubarak, M.Ag.
4. Hukum Investasi Syari’ah ( Pasar Modal, Saham, Obligasi dan Reksadana Syari’ah ) oleh : Prof. DR.H.Abdul Manan, SH,S.IP,M.Hum.
5. Hukum Wakaf ( Tinjauan Yuridis dari segi UU NO. 41 tahun 2004 ) oleh : Prof. DR.H. Muchsin, SH.
6. Aspek Hukum Dana Pensiun Lembaga Keuangan Syari’ah oleh: Prof.DR.H. Abdul Gani Abdullah, SH,MH.
7. Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari’ah oleh : Prof. DR.H.Abdul Manan, SH,S.IP,M.Hum.
8. Segi-segi Hukum Bisnis Syari’ah oleh : Prof.DR.H.Rifyal Ka’bah, MA.
9. Hukum Asuransi dan Reasuransi Syari’ah oleh : Prof.DR.H. Fathurrahman Jamil, MA.
10. Hukum Kontrak Dalam Islam oleh : DR.H. Abdurrahman, SH,MH.
11. Mediasi Dalam Penyelesaian Perkara Ekonomi Syari’ah oleh : Mariana Sutadi, SH.
12. Hukum Zakat di Indonesia oleh : Drs.H.Hamdan,SH,MH.
13. Hukum Pegadaian Syari’ah oleh : Drs..H.Habiburrahman, SH,MH.
E. Beberapa Catatan.
Pada bagian ini penulis sengaja membuat catatan mengenai hal-hal khusus yang menurut penulis perlu mendapat perhatian dan kalau perlu tindak lanjut dan pendalaman secara khusus. Hal-hal penting tersebut adalah sebagai berikut :
1. Dari Bapak Dirjen Badilag Drs. H. Wahyu Widiyana, MA, bahwa tahun 2009 adalah tahun pencanangan peningkatan Kwalitas Sumber Daya Manusia Peradilan Agama, dan pada tiap-tiap PTA harus diadakan Diklat di Tempat Kerja ( DDTK ) untuk peningkatan kwalitas Sumber Daya Manusia.
2. Dari Bapak Tuada Agama Drs.H Andi Syamsu Alam, SH, MH, bahwa krisis moneter membuat Bank-bank Konvensinal, kollaps termasuk juga lembaga-lembaga keuangan Konvensional di Bursa Efek konvensinal, sehingga untuk menhidupkannya kembali Pemerintah sudah mengucurkan dana yang sangat banyak, kecuali perbankan Syari’ah dan lembaga keuangan Syari’ah, cukup stabil tidak ada yang kollaps. Untuk memperkuat dan membantu perkembangan perkembangan bank-bank Syari’ah, maka setoran uang perkara dan termasuk remunerasi harus disalurkan melalui bank syari’ah.
3. Dari Hakim Agung Drs.H Habiburrahman,SH,MH, bahwa sudah 6 tahun dia ikut menangani perkara perdata umum, sepengetahuannya belum ada perkara yang mengenai pegadaian. Ini berarti bahwa sengketa pegadaian sangat kecil, apalagi sengketa pegadaian Syari’ah.
4. Dari Hakim Agung Prof.DR. Rifyal Ka’bah, bisnis Syariah cakupannya sangat luas, menampung semua kegiatan ekonomi syari’ah yang belum termasuk dan 10 point ekonomi syari’ah yang ada dalam UU No.3 tahun 2006. Untuk menambah pendalaman dari segi pengalaman, maka agar Hakim PA banyak diskusi dengan Hakim di Peradilan Niaga, dan mempelajari putusan mereka.
5. Dari Hakim Agung Prof, DR, H. Abdul Manan, SH,S.IP, M.Hum, bahwa dalam UU Zakat tidak menyinggung tentang penyelesaian sengketa Zakat. Bahwa Basyarda sudah dibentuk di daerah-daerah. Meskipun kadangkala Basyarnas itu sering tidak sejalan dengan Hakim PA, namun kita jangan menjadikan mereka sebagai saingan. Tafsirkan kata-kata “ antara lain” dalam pasal 49 UU No.3 2006 point tentang ekonomi syariah, sehingga sengketa ekonomi syari’ah yang belum tertampung dalam pasal tersebut dapat masuk dalam keranjang sampah “bisnis Syari’ah”. Usulan Pak Manan, agar ada Perma tentang kata-kata “ Pengadilan Negeri” dalam Peraturan perundangan mengenai ekonomi syari’ah harus dibaca dengan “Pengadilan Agama”
6. Dari Prof.DR.Jaih Mubarok, SE, M.Ag, bahwa benda ekonomi itu adalah suatu benda yang persediaannya terbatas sedangkan permintaan banyak. Perbedaan antara ekonomi dengan bisnis adalah, ekonomi, adalah mengenai kegiatan produksi, distribusi dan konsumsi, sedangkan bisnis adalah, kegiatan menjual dan membeli ( how to sell an how to buy ), tujuan ekonomi adalah memenuhi kebutuhan sedangkan tujuan bisnis adalah mencari keuntungan. Dalam memeriksa suaru kontrak atau akad syari’ah, harus diperhatikan apakah unsur pokok atau rukun dan syarat dari suatu kontrak sudah terpenuhi menurut prinsip syari’ah, kalau sudah maka akadnya sah, kalau tidak maka akadnya, fasad atau batal, akad fasad bila rukunnya terpenuhi tetapi ada yang tidak memenuhi syarat, sedangkan akad batal bila tidak terpenuhi rukun akad.
7. Dari Guru Besar UIN Jakarta, Prof.DR.H.Fathurrahman Djamil, MA, bahwa dalam dunia asuransi ada tiga tingkat lembaga asuransi, pertama asuransi, dimana seorang nasabah mengikat akad dengan lembaga asuransi, yang kedua, reasuransi, dimana lembaga asuransi mengasuransikan dana premi asuransi kepada lembaga asuransi yang lebih besar di atasnya, ketiga retrosesi, dimana lembaga reasuransi mengasuransikan lagi kepada lembaga asuransi di atasnya. Perbedaan asuransi konvensional dengan asuransi syari’ah adalah bahwa dalam lembaga asuransi konvensional, seorang nasabah, menukar/membeli suatu kecelakaan yang belum pasti terjadi dengan sejumlah premi yang pasti jumlahnya, disini terjadi suatu gambling/ untung-untungan/maysir, sedangkan dalam asuransi syari’ah, antara nasabah sesame nasabah, saling Bantu dalam menghadapi suatu musibah, laksananya arisan kedukaan dsb tidak ada maysir di dalamnya sesuai dengan prinsip syari’ah.
8. Pihak non muslim baik orang atau badan, dianggap menundukkan diri kepada hukum Islam, apabila ia melakukan, akad menurut prinsip hukum Islam di perbankan syari’ah. Salah satu syarat sah dan mengikatnya suatu perjanjian adalah tidak bertentangan dengan hokum yang berlaku. Menurut hukum, pasal 49 UU NO. 3 tahun 2006, bahwa sengketa perekonomian syari’ah adalah kewenangan mutlak Pengadilan Agama, maka apabil pihak-pihak membuat perjanjian, bahwa bila terjadi sengketa, akan diselesaikan ke Pengadilan Umum, maka Hakim Pengadilan Agama harus menafsirkan bahwa perjanjian, tersebut melanggar hukum dan tidak mengikat. Dalam surat gugatan waris, apabila seluruh ahli waris sudah disebutkan secara lengkap, meskipun ada pihak yang tidak didudukan sebagai pihak, maka surat gugatan tersebut, memenuhi syarat untuk diperiksa. Untuk perkara ghaib, atau pihak tergugat tidak pernah hadir, tidak diperlukan mediasi.

F.Penutup.
Demikianlah laporan ini dibuat dan ditulis sebagai bahan dokumentasi atas kegiatan mengikuti pelatihan mudah-mudahkan bisa dikembangkan pada masa-masa yang akan datang.


Padang, 4 Mei 2009



Drs. H. Insyafli, M.HI

PEMBAHASAN LAFAZ

LAFAZ MUJMAL DAN MUBAYYAN
Oleh : Drs.H. Insyafli, M.HI

A. PENDAHULUAN
Hubungan antara hukum Islam atau fiqih Islam dengan pengetahuan bahasa Arab merupakan hubungan yang sangat erat dan tidak bisa dipisahkan. Alasannya sangat jelas. Karena sumber pokok dari hukum Islam itu adalah Al-Qur’an dan Hadits yang nota bene memakai atau menggunakan bahasa Arab standar sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa Arab atau ilmu nahwu dan sharaf.
Kalau kita menengok kepada lafaz-lafaz yang digunakan di dalam ayat-ayat al-Qur’an dan dalam Hadits Nabi, maka dapat disimpulkan bahwa diantara lafaz yang digunakan di dalam ayat-ayat al-Qur’an dan Hadits tersebut ada lafaz yang jelas penunjukan atau pengertian atau maknanya. Di samping itu ada pula lafaz yang tidak jelas atau samar maknanya. Diantara yang tidak jelas maknanya itu ada yang disebut dengan Mujmal yang berlawanan dengan lafaz Mubayyan.
Pembahasan tentang Mujmal dan Mubayyan ini sangat membantu dalam pemahaman terhadap maksud atau makna dari suatu ayat al-Qur’an atau suatu Hadits Nabi.
Mujmal dan Mubayan inilah yang menjadi objek pembahasan dalam makalah ini, dimana kedua istilah Mujmal dan Mubayan tersebut akan diuraikan secara ringkas, baik dari segi pengertian bahasa (etimologi) maupun dari segi pengertian istilah ( terminologi ) ushul fiqih, serta beberapa contoh tentang hal-hal tersebut.
B. Definisi Mujmal (المجمل) :
Secara etimologi ada beberapa arti yang diberikan kepada lafaz Mujmal. Pertama Mujmal diartikan sebagai global/ umum atau dalam bahasa Arab disebut الجمع . Kedua Mujmal diartikan dengan ‘samar’ atau dalam bahasa Arab disebut الشبهة . Ketiga ada pula yang memberi arti Mujmal dengan ‘yang tidak diketahui arti’ atau dalam bahasa Arab disebut dengan المبهم.
Sedangkan secara terminologi atau secara pengertian istilah Mujmal diartikan sebagai berikut :
1. Prof.DR. Abdul Wahhab Khallaf mendefinisikan al-Mujmal sebagai berikut, “al-Mujmal menurut istilah ulama Ushul, ialah lafazh yang shighotnya tidak dapat menunjukan kepada pengertian yang dikandung olehnya, dan tidak terdapat qorinah-qorinah lafazh atau keadaan yang dapat menjelaskannya. Maka sebab itu kesamaran di dalam al-Mujmal ini bersifat lafzhi bukan sifat yang baru datang”.
2. Wahbah al-Zuhaili mendefinisian Mujmal sebagai berikut :
“ Lafaz yang samar maksudnya, yang tidak dapat dietahui kecuali dengan penjelasan dari pembicara sendiri. Tidak dapat diketahui dengan akal karena hanya bisa diketahui dengan dalil naqli dari pembicara itu. Maksudnya lafaz itu tidak dapat diketahui kecuali dengan adanya penjelasan dari yang me-mujmalkan atau al-Mujmil atau Syari’
Dari definisi di atas dapat kita tangkap pengertian bahwa, Pertama, al-Mujmal adalah lafazh atau kata yang tidak jelas ( global ) artinya. Kedua disamping tidak jelas artinya, tidak pula terdapat petunjuk atau qorinah yang menjelaskan arti global dari kata tersebut. Jadi ketidak jelasan atau kesamaran arti kata al-Mujmal berasal dari kata itu sendiri bukan karena faktor eksternal dari luar kata tersebut. Ketiga, jalan untuk mengetahui maksud Mujmal tidak dalam batas kemampuan akal manusia, tetapi satu-satunya jalan untuk memahami adalah melalui penjelesan dari yang me-mujmalkan atau dalam hal ini Syari’.
C. PENYEBAB SAMARNYA LAFAZ MUJMAL
Dalam menjelaskan hal ini, Muhammad Said Ramadhan al-Buthi menyebutkan bahwa ada enam hal yang merupakan penyebab samarnya suatu lafaz Mujmal yaitu sebagai berikut :
1. Lafaz itu mengandung makna yang tidak jelas atau tidak tertentu kualitasnya. Misalnya firman Allah SWT dalam surat al-An’am ayat 141 :
و أتوا حقه يوم حصده
“ dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya”.
Lafaz ‘hak’ dalam ayat ini, sekalipun maknanya secara umum bisa dimengerti, namun jenis dan kualitas hak tersebut tidak jelas. Oleh karena itu diperlukan dalil lain yang akan menjelaskannya.
2. Lafaz itu mengandung makna musytarak ( bersama ) antara dua makna atau lebih sesuai dengan arti etimologinya. Misalnya firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah ayat 228 :
و المطلقات يتربصن با نفسهن ثلاثة قروء
“Wanita-wanita yang ditalak itu hendaklah menahan dirinya (menunggu)tiga quru “
Lafaz ‘quru’ dalam ayat ini bersifat mujmal, karena secara etimologi mengandung dua makna, yaitu haid dan suci. Apabila dipilih salah satu makna, maka harus didukung dalil lain baik dari al-Qur’an, Sunnah maupun ijtihad.
3. Masuknya huruf istitsna’ (pengecualian) yang kualitas pengecualiannya tidak jelas ke dalam suatu kalimat. Misalnya firman Allah SWT dalam surat al-Maidah ayat 1 :
يايها الذين أمنوا أوفوا بالعقود أحلت لكم بهيمة الأنعام إلا ما يتلى عليكم غير
محلى الصيد و انتم حرم ان الله يحكم ما يريد
“ Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang ihram. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.
Kalimat “ kecuali yang akan dibacakan padamu “ merupakan kalimat yang mujmal yang tidak jelas maksudnya. Akan tetapi, kalimat mujmal itu langsung dijelaskan oleh Allah SWT dalam surat al-Maidah ayat 3. Oleh sebab itu apa yang dimaksud oleh Allah SWT dengan kalimat “ kecuali yang akan dibacakan padamu “ adalah jenis binatang-binatang yang haram dimakan yang dicantumkan dalam surat al-Maidah ayat 3 tersebut.
4. Rasulullah SAW mengerjakan suatu perbuatan yang mengandung dua kemungkinan, tetapi tidak ada indikasi yang menunjukkan bahwa yang dituju adalah salah satunya. Misalnya sebuah Hadits yang diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW meng-qashar shalat dalam perjalanan ( HR. Bukhari dan Muslim ). Perjalanan yang dimaksud dalam Hadits ini masih mengandung dua kemungkinan, yang jauh atau yang dekat.
Apabila penjelasan tentang jarak perjalanan tersebut tidak ada, maka lafaz “ perjalanan “ (safar) tetap akan mujmal. Akan tetapi kemujmalan lafaz tersebut dijelaskan oleh sebuah Hadits riwayat Baihaqy, bahwa perjalanan yang boleh meng-qashar shalat adalah perjalanan yang jauh, yaitu yang ditempuh dua hari perjalanan . Terdapat beberapa Hadits mengenai hal ini sehingga berakibat juga pada perbedaan pendapat Ulama fiqih dalam menentukan jarak perjalanan tetsebut.
5. Rasulullah SAW menetapkan hukum dalam suatu kasus, tetapi keputusan itu mengandung beberapa kemungkinan sehingga tidak dapat difahami kecuali melalui dalil lain. Misalnya Hadits Rasulullah SAW yang menyuruh seseorang yang berbuka puasa di bulan Ramadhan untuk memerdekakan budak, atau berpuasa dua bulan berturut-turut atau memberi makan 60 orang miskin. Yang membuat penetapan hukum Rasulullah SAW ini menjadi mujmal adalah karena belum jelas penyebab berbuka puasanya seseorang itu sehingga dikenakan ketetapan hukum ini, apakah disebabkan jima’ siang hari Ramadhan atau disebabkan berbuka saja, baik karena jima’ atau yang lainnya. Karena itu diperlukan dalil lain yang menjelaskannya.
6. Dalam suatu kalimat terdapat dhamir (kata ganti ) yang merujuk kepada kalimat sebelumnya yang mengandung dua kemungkinan tanpa ada dalil kuat yang merujuk kepada salah satu rujukan, atau dalam suatu kalimat sebutan yang berbeda , tanpa ada dalil yang menunjukkan pada salah satu dua kemungkinan itu. Contohnya masalah dhamir dalam Hadits Rasulullah SAW :
لا يمنع احدكم جاره أن يضع خشبة في جدره
“janganlah salah seorang di antara kamu melarang tetangganya untuk menyandarkan kayunya di dinding rumahnya”
Kata “ nya “ dalam kalimat dinding rumahnya mengandung kemungkinan merujuk kepada kalimat “tetangga” atau kepada kalimat “salah seorang di antara kamu”. Tidak ada dalil dalam Hadits ini yang menunjukkan marja’ dhamir tersebut. Oleh sebab itu perlu dicarikan dalil lain yang menjelaskannya.
Menurut Abdul Wahhab Khallaf, ada beberapa kategori dari suatu lafaz yang Mujmal tersebut. Kategori-kategori yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1. Termasuk Mujmal ialah lafaz-lafaz yang pengertian bahasa dipindahkan oleh Syari’ dari pengertian aslinya kepada pengertian-pengertian khusus menurut istilah syara’. Seperti lafaz sholat , zakat, shiyam. Haji, riba dan lafaz-lafaz lain yang oleh Syari’ dikehendaki dengannya makna syara’ secara khusus, bukan makna yang lughowi (menurut etimologi).
Maka apabila di dalam nash syara’ terdapat lafaz diantara lafaz-lafaz tersebut diatas, lafaz itu adalah mujmal (global) pengertiannya, sampai ada penafsiran terhadap lafaz itu oleh Syari’ sendiri. Karena itu datanglah Sunnah yang berbentuk amal perbuatan dan ucapan untuk menafsir atau menjelaskan arti sholat dan menjelaskan rukun-rukunnya serta syarat-syaratnya dan hai’ahnya ( bentuk pelaksanaannya). Rasulullah SAW bersabda :
صلوا كما رايتمونى أصلى
“ Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku sedang shalat (seperti shalatku)”.
Begitu juga beliau telah menafsir zakat, shiyam, haji, riba dan setiap lafaz yang mujmal (global) di dalam nash-nash al-Qur’an.
2. Termasuk al-Mujmal ialah lafaz asing yang ditafsir oleh nash itu sendiri dengan arti yang khusus, seperti lafaz (القارعة) dalam firman Allah (Q.S al-Qari’ah: 1- 4 ) :
القارعة ما القارعة و ما ادرئك ما القارعة يوم يكون الناس كالفراش المبثوث
“Hari kiamat, apakah hari kiamat itu ?. Tahukah kamu apakah hari kiamat itu ? Pada hari itu manusia adalah seperti anai-anai yang bertebaran
Dan lafaz (الهلوع ) di dalam firman-Nya Q.S al-Ma’arij : 19 – 21 ;
ان الانسان خلق هلوعا اذا مسه الشر جزوعا و اذا مسه الخير منوعا
“Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia bekeluh kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan, ia amat kikir”.
Dalam pada itu kalau dipertanyakan, bagaimana cara atau jalan untuk menghilangkan ke ijmalan (keglobalan) dari suatu lafaz yang mujmal sehingga kita mengerti apa yang dimaksudkan dengan lafaz tersebut?. Untuk menjawabnya, bisa kita perhatikan apa yang disimpulkan oleh Abdul Wahhab Khallaf sebagai berikut, Bahwa keijmalan suatu lafaz yang mujmal yang penyebanya adalah salah satu dari tiga penyebab yang disebutkan di atas, tidak ada jalan lain sama sekali untuk menjelaskannya atau menghilangkan keijmalannya atau menafsir pengertiannya, kecuali kita harus menengok kepada apa yang dijelaskan atau diartikan oleh Syari’ itu sendiri yang mengglobalkamn lafaz tersebut. Karena Dialah yang menyamarkan pengertian dan tidak ada petunjuk ke arah itu dalam bentuk lafaz, maupun dalam bentuk qorinah dari luar lafaz. Maka wajarlah kalau kepada Syari’lah dikembalikan tentang kejelasan sesuatu yang telah disamarkannya.
Selanjutnya apabila telah ada penjelasan tentang lafaz yang Mujmal tersebut yang datang dari Syari’ itu sendiri, penjelasanmana dalam bentuk penjelasan yang sempurna dan terang serta pasti, maka oleh karena yang Mujmal itu sudah dipahami artinya dengan kata lain tidak Mujmal lagi, maka lantaran itu lafaz tersebut berubah nama menjadi al-Mufassar ( yang sudah ditafsiri atau dijelaskan). Ada beberapa contoh untuk keadaan seperti ini dimana lafaz yang Mujmal sudah dijelaskan artinya oleh Syari’. Sebagai contoh dapat disebutkan disini beberapa lafaz diantaranya seperti penjelasan untuk pengerti lafaz zakat, shalat, haji dan lain-lainnya.
Perlu dicatat bahwa yang dimaksud dengan Syari’ dalam pembahasan ini adalah sama dengan Legislator atau yang mengundangkan suatu peraturan. Bila istilah ini dihubungkan dengan peraturan-peraturan / perundang-undangan Islam, maka pengertian Syari’ disini adalah Allah, atau Nabi Muhammad atau Ulama Mujtahid dalam pemerintahan Islam. Tapi bila dihubungkan dengan peundang-undangan suatu Negara, maka pengertian Syari’ disini adalah Dewan Perwakilan Rakyat, atau Pemerintah atau lembaga-lembaga lain yang berwenang membuat suatu undang-undang atau suatu peraturan.
Sebaliknya, apabila penjelasan yang diberikan oleh Syari’ terhadap suatu lafaz yang Mujmal itu tidak dapat menghilangkan keglobalan suatu lafaz Mujmal, maka al-Mujmal tersebut dikategorikan sebagai al-Musykil. Selanjutnya, karena masih belum jelas pengertian Mujmal tersebut, maka masih terbuka jalan untuk mengadakan pembahasan/ penelitian dan berijtihad tentang itu, dengan tujuan untuk menghilangkan kesulitan.
D. KEKUATAN DILALAH LAFAZ MUJMAL
Wahbah al-Zuhaili menjelaskan bahwa dalam pengamalam lafaz Mujmal harus di tauqif, artinya lafaz Mujmal itu tidak dapat diamalkan sebelum keijmalannya hilang, atau sebelum datang ayat atau Hadits yang menjelaskannya. Ini merupakan pendapat yang disepakati oleh ulama Ushuliyin, terutama dari golongan Hanafiyah.
Al-Syatibi berkomentar tentang hal ini, bahwa mengenai kekuatan dalalah lafaz Mujmal, memperhatikan kenyataan bahwa ada sebagian ayat al-Qur’an dan Hadits yang bersifat Mujmal. Kalau ingin menetapkan hukum dari ayat dan Hadits tersebut, maka tujuan ini tidak akan tercapai kalau ayat dan Hadits yang Mujmal tersebut belum dijelaskan.
Dengan demikian kelihatannya Ulama Ushul fiqih sependapat bahwa lafaz yang Mujmal tidak bisa dijadikan sebagai hujjah, sebelum ada dalil lain yang menjelaskannya. Hal ini sangat logis dan mudah dimengerti, karena tidak mungkinlah kita menggunakan sebagai hujjah suatu lafaz yang tidak atau belum jelas penunjukan maknanya.
E. MUBAYYAN.
Mubayyan secara bahasa (etimologi) : (المظهر والموضح) yang ditampakkan dan yang dijelaskan. Sedangkan secara terminologi Mubayyan adalah seperti yang didefinisikan oleh al-Asnawi sebagai berikut :
المبين هو الواضح بنفسه او بغيره
“Mubayyan adalah lafaz yang jelas (maknanya) dengan sendirinya atau dengan lafaz lainya”.
Ada yang mendifinisikan Mubayyan sebagai berikut:
ما يفهم المراد منه، إما بأصل الوضع أو بعد التبيين
“Apa yang dapat difahami maksudnya, baik dengan asal peletakannya atau setelah adanya penjelasan.”
Contoh yang dapat difahami maksudnya dengan asal peletakannya : lafadz langit (سماء), bumi (أرض), gunung (جبل), adil (عدل), dholim (ظلم), jujur (صدق). Maka kata-kata ini dan yang semisalnya dapat difahami dengan asal peletakannya, dan tidak membutuhkan dalil yang lain dalam menjelaskan maknanya.
Contoh yang dapat difahami maksudnya setelah adanya penjelasan : firman Alloh ta’ala :
اقيمو الصلاة وَآتُوا الزَّكَاةَ
“Dan dirikanlah sholat dan tunaikan zakat” (Al-Baqoroh : 43)
Maka mendirikan sholat dan menunaikan zakat, keduanya adalah mujmal, tetapi pembuat syari’at (Allah ta’ala) telah menjelaskannya, maka lafadz keduanya menjadi jelas setelah adanya penjelasan.
Dalam hubungannya dengan Mubayyan , maka dapat kita pahami ada tiga hal disini. Pertama adanya lafaz yang mujmal yang memerlukan penjelasan atau disebut Mubayan (yang dijelaskan). Kedua ada lafaz lain yang menjelaskan lafaz yang Mujmal tadi atau disebut Mubayyin (yang menjelaskan. Dan yang ketiga adanya penjelasana atau disebut Bayan.
F. MACAM-MACAM BAYAN
Dalam pembahasan selanjutnya, para Ulama Ushul membuat kategori daripada penjelasan atau Bayan tersebut. Ulama Syafiiyah membagi bayan kepada 7 macam sebagai berikut :
1. Penjelasan dengan perkataan , contohnya Allah SWT menjelaskan lafaz سبعة ( tujuh ) pada surat al-Baqarah ayat 196, tentang jumlah hari puasa bagi yang tidak mampu membayar dam (hadyu) pada haji Tamattu’. Dalam bahasa Arab lafaz tujuh sering ditujukan kepada arti ‘banyak’ yang bisa lebih dari tujuh. Untuk menjelaskan ‘tujuh’ itu betul-betul tujuh maka Allah SWT mengiringi dengan firman-Nya “itu sepuluh hari yang sempurna”.
2. Penjelasan dengan mafhum perkataan, contohnya firman Allah SWT dalam surat al-Isra’ ayat 23, tentang larangan mengatakan اف”ah” kepada kedua orang tua. Mafhum dari ayat tersebut adalah melarang seseorang anak menyakiti orang tuanya, seperti memukul dan lain-lain, karena mengucapkan “ah” saja tidak boleh, apalagi memukul.
3. Penjelasan dengan perbuatan,contoh Rasulullah SAW menjelaskan perintah mendirikan shalat, dalam ayat al-Quran, lalu Rasulullah SAW mencontohkan cara melakukan shalat tersebut.
4. Penjelasan dengan Iqrar “pengakuan” contohnya, Rasulullah melihat Qayis shalat dua raka’at sesudah shalat Subuh, maka Rasulullah bertanya kepada Qayis, lalu Qayis menjawab dua raka’at itu adalah shalat sunat fajar. Rasulullah tidak melarang. Ini menunjukkan dibolehkan shalat sunat sesudah shalat Subuh.
5. Penjelasan dengan Isyarat, contohnya penjelasan Rasulullah SAW tentang jumlah hari dalam satu bulan. Beliau mengangkat kesepuluh jarinya tiga kali, yakni 30 hari. Kemudian mengulanginya sambil membenamkan ibu jarinya pada kali yang terakhir. Maksdunya bahwa bulan itu kadang-kadang 30 hari atau kadang-kadang 29 hari.
6. Penjelasan dengan tulisan, contohnya Rasulullah SAW menyuruh juru tulis beliau menuliskan hukum-hukum mengenai pembagian harta warisan dan lain-lain.
7. Penjelasan dengan qiyas, contohnya Rasulullah SAW menjawab seorang penanya melakukan haji untuk ibunya yang sudah meninggal. Rasullullah bertanya, ‘bagaimana kalau ibumu punya hutang, apa kamu bisa membayarnya?. Hadits tersebut menqiyaskan mengganti haji orang tua dengan membayar hutangnya.
G. PENUNDAAN BAYAN
Ulama Ushul fiqh sependapat bahwa tidak boleh ada penundaan bayan dari waktu pelaksanaannya. Alasannya, tidak mungkin Allah SWT mengungkap suatu hukum yang mujmal kemudian masuk waktu pelaksanaannya, sementara bayan terhadap hukum yang mujmal itu belum ada. Hal ini tidak pernah dan tidak akan dijumpai dalam syari’at Islam.
Adapun penundaan bayan dari waktu penetapannya sampai pelaksanaan hukum yang dikandung lafaz mujmal, menurut jumhur ulama ushul fiqh diperbolehkan. Hal ini terjadi dalam syari’at Islam. Contohnya firman Allah SWT dalam surat al-Anfal ayat 1 ;
يسألونك عن الانفال قل الانفال لله و الرسول فاتقوا الله و اصلحوا ذات بينكم
“Mereka menanyakan kepadamu tentang (pembagian) harta rampasan perang. Katakanlah, ‘harta rampasan perang itu kepunyaan Allah dan Rasul’. Sebab itu, bertaqwalah kepada Allah dan perbaikilah hubungan diantara kamu’.
Pernyataan bahwa ‘harta rampasan perang itu kepunyaan Allah dan Rasul’ membutuhkan bayan karena belum jelas mengenai cara pembagiannya. Kemudian Rasul menjelaskan pembagiannya setelah terjadi perang Badar. Penjelasan ini baru muncul ketika kasus sudah terjadi (ketika dibutuhkan).
Menurut pendapat Mu’tazilah penundaan bayan tidak dibolehkan, sekalipun sampai pada waktu pelaksanaannya. Menurut mereka, apabila ada hukum yang mujmal, maka pasti ada bayannya, karena tidak mungkin Allah menurunkan suatu hukum yang mujmal dan menunda-nunda penjelasannya.
H. KETENTUAN DILALAH MUBAYYAN
Lafaz Mujmal yang telah diberi penjelasan tidak lagi dikategorikan lafaz yang mubham, sebab dengan adanya dukungan dari penjelasan tersebut lafaz Mujmal itu keluar dari lingkaran Ibham.
Lebih lanjut, Abu Zahrah mengomentari bahwa Mujmal setelah mendapat penjelasan tidak boleh lagi di ta’wil dan tidak boleh ditakhshish, ini pendapat kebanyakan Ulama. Sebahagian ulama lagi berpendapat bahwa Mujmal setelah mendapat penjelasan, kadang-kadang ada yang berubah menjadi nash atau mufassar atau muhkam .
E. KESIMPULAN
1. Mujmal secara bahasa : (المبهم والمجموع) mubham (yang tidak diketahui) dan yang terkumpul.
2. Mujmal dapat dijelaskan sebagai berikut. Pertama, al-Mujmal adalah lafazh atau kata yang tidak jelas ( global ) artinya. Kedua disamping tidak jelas artinya, tidak pula terdapat petunjuk atau qorinah yang menjelaskan arti global dari kata tersebut. Jadi ketidak jelasan atau kesamaran arti kata al-Mujmal berasal dari kata itu sendiri bukan karena factor eksternal dari luar kata tersebut. Ketiga, jalan untuk mengetahui maksud Mujmal tidak dalam batas kemampuan akal manusia, tetapi satu-satunya jalan untuk memahami adalah melalui penjelesan dari yang me-mujmalkan atau dalam hal ini Syari’.
3. Ulama Ushul fiqih sependapat bahwa lafaz yang Mujmal tidak bisa dijadikan sebagai hujjah, sebelum ada dalil lain yang menjelaskannya.
4. Mubayyan secara bahasa : (المظهر والموضح) yang ditampakkan dan yang dijelaskan.
5. Menurut istilah Ulama Ushul fiqih Mubayyan adalah apa yang dapat difahami maksudnya, baik dengan asal peletakannya atau setelah adanya penjelasan.
6. Ulama Ushul fiqh sependapat bahwa tidak boleh ada penundaan bayan dari waktu pelaksanaannya. Alasannya, tidak mungkin Allah SWT mengungkap suatu hukum yang mujmal kemudian masuk waktu pelaksanaannya, sementara bayan terhadap hukum yang mujmal itu belum ada. Hal ini tidak pernah dan tidak akan dijumpai dalam syari’at Islam.
7. Lafaz Mujmal yang telah diberi penjelasan tidak lagi dikategorikan lafaz yang mubham.








DAFTAR KEPUSTAKAAN

1. Prof.DR.Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam,(edisi terjemahan) PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, tahun 1998.

2. Diterjemahkan dari kitab al-Ushul min 'Ilmil Ushul karya asy-Syaikh MuhammadbinSholehal'Utsaiminhttp://tholib. wordpress.com/2007/03/07/mujmal-dan-mubayyan.


3. Said al-Din Abi al-Hasan Ali bin Muhammad al-Amidi, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, juz II , Maktabah MuhammadAlishibih wa auladih, Kairo, 1967.

4. Muhammad bin Ali bin Muhammad al-Syaukani, Irsyad al-Fuhul, Dar al-Fikr, Kairo, tt.


5. Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqhi al-Islami, Juz I, Dar al-Fikr, Damsyik, tt,.

6. Muhammad bin Ishaq al-Syatibi, al-Muwafaqat, Dar al-Fikr, Kairo, 1975,


7. Al-Imam Jamal al-Din Abd al-Rahim al-Asnawi, Nihayah al-Sual, Dyarh Manhaj al-Wusul fi Ilm al-Ushul, Juz II, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, tt.

8. Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, Dar al-Fikr al-Arabi, Beirut, tt

REFLEKSI MUSYAWARAH MAJELIS HAKIM

IKHTISAR PERMUSYAWARATAN MAJELIS HAKIM
Oleh : Drs. H. Insyafli M.HI
(Hakim Tinggi PTA Padang)

A. Pendahuluan.
Musyawarah Majelis Hakim, adalah acara terakhir sebelum, Majelis Hakim, mengambil suatu kesimpulan atau sebelum majelis Hakim mengucapkan putusan. Musyawarah majelis dilakukan dalam sidang yang tertutup, karena dalam musyawarah itu masing-masing Hakim yang ikut memeriksa persidangan itu akan mengemukakan pendapat hukumnya tentang perkara yang tersebut secara terrahasia dengan arti tidak diketahui oleh yang bukan majelis hakim..
Permasalahan yang akan disorot adalah, pertama, apakah musyawarah itu diadakan dalam suatu persidangan, yang konsekkuensinya akan dibuatkan suatu Berita Acara Persidangan Musyawarah ? Ataukah bukan persidangan sehingga tidak dibuatkan BAPnya?, tetapi cukup dibuatkan, ikhtisar musyawarah saja?
Kedua, apakah wajib mengikut sertakan panitera sidang dalam musyawarah tersebut atau tidak? Masalah ini ada juga kaitannya dengan masalah pertama.
Ketiga, berkaitan dengan pelaksanaan pola bindalmin. Di beberapa Peradilan menganut pendapat yang mengatakan adanya apa yang mereka sebut Ikhtisar Sidang Musyawarah, sedangkan di beberapa Peradilan yang lain, tidak ada. Sehingga terjadi perbedaan dalam pelaksanaan pola bindalmin, khususnya dalam menyusun berkas perkara..
Inilah masalah yang penulis coba menelusurinya, sepanjang peraturan perundang-undangan yang ada, dan petunjuk-petunjuk teknis yang dianut dalam praktek peradilan.
B. Aturan tentang Musyawarah Majelis Hakim.
1. HIR.. Dalam HIR pasal 178 ayat (1) pada judul ‘Tentang Permusyawaratan dan Keputusan Hakim’ ditegaskan sebagai berikut,” Hakim dalam waktu bermusyawarah, karena jabatnya, harus mencukupkan alasan-alasan hukum yang mungkin tidak dikemukakan oleh kedua pihak”.
2. UU No. 7 tahun 1989 pasal 59 ayat (3) menyatakan bahwa,“ Rapat permusyawaratan Hakim bersifat rahasia”.
3. UU No. 4 tahun 2004 pasal 19 menegaskan sebagai berikut:
(3) Rapat permusyawaratan Hakim bersifat rahasia.
(4) Dalam sidang permusyawaratan, setiap Hakim wajib menyampaikan pertimbangan dan pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan.
(5)Dalam hal sidang permusyawaratan tidak dapat dicapai mufakat bulat, pendapat Hakim yang berbeda wajib dimuat dalam putusan.
(6) Pelaksanaan lebih lanjut ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) diatur oleh Mahkamah Agung.
4. Buku II. Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Agama pada halaman 32 point c di bawah judul ‘Rapat Permusyawaratan Majelis Hakim’ diuraikan dalam empat point sebagai berikut,
1) Rapat permusyawaratan Majelis Hakim bersifat rahasia (pasal 19 ayat 3 UU No.4 tahun 2004). Panitera sidang dapat mengikuti rapat permusyawaratan Majelis apabila dipandang perlu dan mendapat persetujuan oleh Majelis Hakim.
2) Ketua Majelis akan mempersilahkan Hakim Anggota II untuk mengemukakan pendapatnya, disusul oleh Hakim Anggota I dan terakhir Ketua Majelis akan menyampaikan pendapatnya.
3) Semua pendapat harus dikemukakan dengan jelas, dengan menunjuk dasar hukumnya, kemudian dicatat dalam buku agenda sidang,
4) Dalam rapat permusyawaratan, setiap Hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa.

C. Substansi dan Teknik Musyawarah Majelis.

Dalam bukunya ‘Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Bapak Prof. DR. H. Abdul Manan, S.H, S.IP, M. Hum, menyebut bahwa, “ Musyawarah Majelis Hakim merupakan perundingan yang dilaksanakan untuk mengambil keputusan terhadap suatu perkara yang diajukan kepadanya dan sedang diproses dalam persidangan Pengadilan Agama yang berwenang. Musyawarah Majelis Hakim dilaksanakan secara rahasia, maksudnya apa yang dihasilkan dalam rapat Majelis Hakim tersebut hanya diketahui oleh Majelis Hakim yang memeriksa perkara.sampai putusan diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum. Tujuan diadakan musyawarah majelis ini adalah untuk menyamakan persepsi, agar terhadap perkara yang sedang diadili itu dapat dijatuhkan Putusan yang seadil-adilnya, sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku”
Pendapat ini kalau kita hubungkan dengan aturan-aturan tentang musyawarah yang dikutip diatas, menyiratkan bahwa, substansi atau hakikat musyawarah majelis Hakim itu adalah perundingan atau tukar pendapat, dalam mencari suatu putusan terhadap suatu perkara. Dalam perundinganmana akan disatukan persepsi atau pemahaman terhadap kasus dan penyelesaiannya.
Adapun teknis jalannya rapat musyawarah Majelis Hakim adalah seperti yang telah diatur pada Buku II di atas. Ketua Majelis Hakim memimpim musyawarah. Kesempatan pertama mengemukakan pendapat diberikan kepada Hakim Anggota II atau Hakim yang paling yunior. Berikutnya kesempatan mengemukakan pendapat diberikan kepada Hakim Anggota I ( Hakim yang agak senior ). Terakhir Ketua Majelis akan menyampaikan pendapat hukumnya.
Pada dasarnya panitera yang ikut bersidang tidak dibenarkan untuk mengikuti rapat musyawarah Majelis Hakim. Demikian simpulan yang dibuat oleh Prof.Dr. H. Abdul Manan dan ini sesuai dengan isi Buku II seperti dikutip di atas, Alasannya adalah karena musyawarah itu bersifat rahasia, dan ini menurut beliau sesuai dengan pasal 17 ayat 3 UU No. 14 tahun 1970. Dibalik itu, masih menurut Pak Manan, kemungkinan Panitera pengganti ikut dalam musyawarah Majelis, bisa saja dibenarkan dengan catatan, Majelis Hakim memandang kehadiran panitera sidang itu diperlukan.
Dengan kata, lain, bahwa panitera sidang bisa ikut dan bisa tidak ikut dalam musyawarah Majelis Hakim. Hal itu tergantung kepada pandangan Ketua Majelis, apakah keikutsertaan panitera sidang itu diperlukan atau tidak.
Apabila terjadi perbedaan pendapat hukum antara majelis yang bermusyawarah, maka perbedaan itu diselesaikan dengan voting, atau hitung suara terbanyak. Cara ini sangat logis, dan oleh karena itu maka jumlah hakim dalam satu majelis harus ganjil, agar bisa diselesaikan. Pendapat hakim yang kalah suara, meskipun dia sebagai Ketua Majelis, harus menyesuaikan dengan pendapat mayoritas. Dan untuk itu pendapat yang kalah suara tadi harus di catatkan dalam satu buku khusus yang dikelola oleh Ketua Pengadilan.
Jadi disini disebut satu buku khusus, artinya bukan buku catan biasa seperti BAP. Dan yang mengelolanya adalah Ketua Pengadilan Agama. Jelas sekali bahwa buku khusus itu bukan berita acara.
D. Ikhtisar Rapat Permusyawaratan Majelis.
Pertanyaan kita selanjutnya adalah, bagaimana hal ini bila kita hubungkan dengan pasal 25 ayat (3) UU No.4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menyebut adanya istilah “ikhtisar rapat permusyawarah” yang harus ditandatangani oleh Ketua Majelis dan Panitera sidang?
Di dalam Undang-undang No. 4 tahun 2004 pasal 25 tersebutkan bahwa, “ Penetapan. Ikhtisar rapat permusyawaratan dan berita acara pemeriksaan sidang ditandatangani oleh Ketua Majelis Hakim dan Panitera sidang
Dalam pasal ini dengan tegas disebutkan apa yang dinamakan dengan “ikhtisar rapat permusyawaratan. Tetapi apa yang dimaksudkan dengan ikhtisar rapat permusyawaratan tersebut?. Jawabannya, tidak atau belum dijelaskan, karena dalam penjelasan pasal 25 dikatakan cukup jelas. Oleh karena itu mari kita tengok kepada pola bindalmin yang sejak tahun 1991 pola tersebut telah diberlakukan di dunia peradilan khususnya menyangkut administrasi perkara, atau administrasi yustisial.
Kita lihat dalam penyusunan Bendel A menurut Pola Bindalmin (arsip Pengadilan Agama) yang dimulai dengan Surat gugatan Penggugat sampai terakhir surat lain-lain (bila ada) tidak ditemukan adanya ikhtisar rapat permusyawaratan. Artinya pola bindalmin tidak mengenal apa yang disebut ikhtisar rapat permusyawaratan.
Dengan demikian dapat kita singkatkan bahwa kemungkinan yang dimaksudkan dengan ikhtisar rapat permusyawaratan itu adalah apa yang disebut dalam Buku II dengan nama buku khusus. Akan tetapi buku khusus dalam buku Pak Manan di atas dan dalam buku II yang lama (edisi revisi tahun 2004) disebutkan dikelola oleh Ketua Pengadilan.
Kalau buku khusus itu yang dimaksudkan dengan ikhtisar rapat permusyawaratan, tentu tidak perlu ditanda tangani oleh Ketua Majelis dan panitera sidang, karena sifatnya yang rahasia. Juga kehadiran Panitera sidang dalam rapat permusyawaratan majelis, tidak mutlak, tergantung kepada dibutuhkan atau tidak oleh Majelis.
Karena ketidak jelasan inilah maka dalam prakteknya, terdapat perbedaan dalam mewujudkan pencacatan ihktisar rapat permusyawaratan. Ada yang mencatatkannya seperti sebuah berita acara permusyawaratan, dan ada yang mencatatkan dalam buku khusus yang dikelola oleh Ketua Pengadilan (bila ada perbedaan pendapat yang tidak bisa dikompromikan dalam musyawarah tersebut) dan ada yang tidak mencatatkan sama sekali bila terjadi kebulatan pendapat dalam musyawarah Majelis Hakim itu.

E. Kesimpulan
Karena terjadi perbedaan pemahaman, dan kurang jelasnya aturan tentang apa yang disebut dengan ihktisar rapat permusyawaratan, maka pelaksanaan di lapangan pun berbeda.
Kita berharap kepada Mahkamah Agung, seperti yang ditegaskan oleh pasal 19 ayat (6) UU No.4 tahun 2004 bahwa, “ Pelaksanaan lebih lanjut ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 4 (dimana setiap Hakim menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis, dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari putusan), dan ayat 5 (pemuatan pendapat hakim yang berbeda dalam putusan) diatur oleh Mahkamah Agung”.
Bersamaan dengan aturan tersebut, sekaligus Mahkamah Agung bisa menjelaskan, maksud dan format dari apa yang dinamakan ikhtisar rapat permusyawaratan Majelis tersebut. Dengan demikian perbedaan dalam pemberkasan perkara atau minutasi dapat dihindari.
INSYA ALLAH

HAKAMAIN MIN JIHATIL HAKIM

INTEGRASI ANTARA MEDIASI DAN HAKAMAIN MIN JIHATIL HAKIM
Oleh : Drs. H. INSYAFLI. M.HI
(Hakim Tinggi pada PTA Padang)
A. Pendahuluan

Istilah “Hakamain min Jihatil Hakim” adalah istilah yang cukup popular di kalangan Hakim Peradilan Agama di Indonesia. Istilah yang berasal dari bahasa Arab ini secara letterleijk dapat diartikan, “ Dua orang Hakam dari Pihak Hakim”. Secara umum diketahui bahwa hakam ( juru damai dalam perkara syiqaq) seorang berasal dari pihak keluarga suami dan seorang lagi berasal dari pihak isteri. Tetapi dalam kondisi tertentu Majelis Hakim dapat mengangkat , “Hakamain min Jihatil Hakim” yang bukan dari pihak keluarga para pihak, diantaranya yang berasal dari Hakim Mediator yang sudah ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Agama.
Lembaga “Hakam” merupakan lex specialis di dunia Peradilan Agama yang nota bene merupakan penerapakan “Hukum Manshush” dari firman Allah SWT dalam Al-Qur’an dalam perkara “Syiqaq” atau perceraian dengan alasan percekcokan yang memuncak.
Pengagajuan perkara perceraian dengan alasan percekcokan yang memuncak, seringkali pula di kumulasikan dengan gugatan nafkah, harta bersama atau gugatan kehartabendaan lainnya.
Di segi lain Mahkamah Agung RI telah menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung No. 2 tahun 2003 yang telah diperbaharui dengan Peraturan Mahakmah Agung No.1 tahun 2008, yang substansi adalah mengenai Mediasi yang mesti dilaksanakan dalam menangani setiap perkara oleh Majelis Hakim termasuk di dalamnya perkara-perkara di Peradilan Agama.
Bagaimana menyatukan kedua lembaga tersebut, yakni lembaga “Hakamain” dan lembaga “ Mediasi” yang sama-sama mesti dilaksanakan, bahkan Bapak Tuada Agama, menyebutnya dengan kata-kata “Wajib Ain”.
Inilah pokok bahasan yang penulis akan mencoba mengurainya berikut ini.

B. Pengertian Hakamain.

Istilah hakam berawal dari firman Allah SWT, dalam Surat an-Nisa’ ayat 35 sebagai berikut,
و ان خفتم شقاق بينهما فابعثوا حكما من اهله و حكما من اهلها

“ Jika kamu mengkhawatirkan percekcokan antara keduanya (suami-ister), maka angkatlah seorang Hakam dari keluarga suami dan seorang Hakam dari keluarga isteri”.
Dalri ayat terbut dapat dipahami bahwa Hakam adalah seorang utusan atau delegasi dari pihak suami isteri, yang akan dilibatkan dalam penyelesaian sengketa antara keduanya.
Ada beberapa padanan kata yang mempunyai arti yang hampir sama, atau mirip dengan hakam. Diantaranya adalah yang dikutipkan oleh Bapak M. Yahya Harahap Sh, dalam bukunya sebagai berikut,
“Noel J. Coulson memberi sinonim ‘arbitor’ sebagai kata yang sepadan dengan hakam. Begitu juga Moerteza Mutahhari mengemukakan padanan Hakam dengan kata ‘arbiter’.
Dalam UU No.7 tahun 1989, istilah Hakam dipakai diantaranya dalam pasal 72 ayat (2) sebagai berikut, “ Hakam adalah orang yang ditetapkan Pengadilan dari pihak keluarga suami atau pihak keluarga isteri atau pihak lain ntuk mencari upaya penyelesaian perselisihan terhadap syaiqaq”.
Bila kita ingin membandingkan antara hakam dalam pengertian ayat Al-Qur’an di atas dengan Hakam dalam pengertian UU No.7, terlihat kesamaan arti antara keduanya. Akan tetapi dalam Undang-undang No.7 Hakam diperluas dengan, ‘atau pihak lain’. Pihak lain inilah yang bisa kita interpretasikan sebagai Hakamain min Jihatil Hakim.
C. Syarat-syarat Hakam
Tidak ada salahnya kita meliaht persyaratan yang ditentukan oleh Syeikh Jalaluddin al-Mahally sebagai berikut’
و يشترط فيهما الحرية و العدلة و الاهتداء الي ما هو المقصود من بعتهما
“ Disyaratkan kedua Hakam itu merdeka, ‘adalah (jujur) serta punya pengetahuan tentang tugas-tugas yang dibebankan kepadanya”.
Syarat yang perlu mendapat perhatian kita adalah syarat terakhir yakni punya pengetahuan tentang tugas-tugas hakam . Dari sini dapat kita fahami bahwa para Mediator di Pengadilan, lebih memenuhi syarat, dari segi punya pengetahuan dan kemampuan sebagai hakam.

D. Pengertian Hakamain min Jihatil Hakim.
Hakam min Jihatil Hakim, secara harfiyah telah disinggung dalam pendahuluan di atas. Secara sederhana dapat dimaknai sebagai dua orang (yang bukan dari pihak keluarga suami isteri) yang ditetapkan oleh Majelis Hakim (misalnya dari Mediator Pengadilan) bertugas sebagai Hakam dari pihak suami dan Hakam dari pihak isteri.
Sebagai landasan ilmiyah fiqhiyah, dapat kita tengok uraian Doktor Wahbah az-Zuhaili, sewaktu menguraikan syarat-syarat hakam sebagai berikut,
فان لم يكونا من اهلهما بعث القاضي رجلين اجنبيين و يستحسن ان يكونا من جران الزوجين ممن لهما خبرة بحال الزوجين وقدرة علي الاصلاح بينهما
“ Jika keduanya tidak berasal dari keluarga kedua suami isteri, Hakim mengangkat dua orang laki-laki yang bukan kelaruga (orang lain: ajnabiy). Baik sekali keduanya berasal dari tetangga suami isteri, yang mengetahui betul keadaan suami isteri, serta memiliki kemampuan untuk mendamaikan keduanya”
Garis hokum yang dapat kita tarik dari kutipan di atas adalah bahwa, dalam hal khusus (misalnya pihak keluarga kurang memenuhi persyaratan) maka Hakim dapat mempertimbangkan untuk mengangkat dua orang yang bukan keluarga sebagai hakamain, dalam hal ini misalnya Mediator yang ditunjuk oleh Pengadilan dari kalangan Hakim. Apalagi mengingat kemampuan mereka untuk mengemban tugas, mencari penyelesaian dalam sengketa para pihak pasti lebih unggul dibandingkan dengan dari pihak keluarga.
E. Mediasi.
Dalam pengetahuan hokum sekarang ini mediasi dapat dipandang sebagai suatu proses pengambilan keputusan dengan bantuan pihak tertentu. John Wade mengutip beberapa pengertian mediasi. Menurut Folberg dan A. Taylor, a comprehensive guide to resolving conflict withouth litigation dan menurut Laurence Bolle, mediation is a decision making process in which the parties are assited by a third party, the mediatorthe mediator attempt to improve the process of decision making and to assist the parties reach an autcome to wich of them can assen.
Dari keduapengertian mediasi kalau kita ingin menegaskannya adalah bahwa mediasi bantuan atau bimbingan dari pihak ketiga ( bukan pihak berperkara ) untuk merumuskan langkah-langkah sebagai solusi dan membuat jalan keluar dan keputusan damai antara pihak-pihak berperkara.
Lebih jauh lagi,Said Faisal dalam “Pengantar Mediasi” mengutip pendapat Moor C.W dalam memberikan definisi mediasi, pada dasarnya mediasi adalah negosiasi yang melibatkan pihak ketiga yang memiliki keahlian mengenai prosedur mediasi yang efektif dan dapat membantu dalam situasi konflik untuk mengkoordinasikan aktifitas mereka sehingga lebih efektif dalam proses tawar menawar, bila tidak ada negosiasi… tidak ada mediasi5. Seorang mediator pada dasarnya memiliki kecenderungan menggunakan interest based negotiation yang pada akhirnya kepentingan semua pihak dapat terwakili. Mediasi dan negosiasi bukanlah dua proses yang terpisah namun lebih mengarah kepada negosiasi yang difasilitasi oleh pihak ketiga yang netral. Meskipun secara substansial negosiasi berbeda dengan mediasi, namun sering kali dikatakan bila tidak ada negosiasi tidak ada mediasi. Oleh karena negosiasi merupakan nilai penting dalam mediasi, maka tawaran pihak pertama dan harga konsesi akan sangat menentukan pada hasil akhir negosiasi (mediasi)
Disini Moor C.W menstressing bahwa inti dari mediasi itu adalah kemampuan negosiasi atau tawar menawar kepentingan dan keuntungan antara pihak-pihak berperkara, sehingga ditemukan garis tengah yang biasanya disebut win-win solution.
Dalam Perma No.1 tahun 2008 di jelaskan bahwa, “Mediator adalah pihak netral yang membantu para pihak dalam proses perundingan guna mencariberbagai kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian” Sedangkan mediasi diartikan sebagai berikut, “Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh
kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator”.
Semula mediasi adalah upaya pencarian solusi satu sengketa yang bersifat non litigasi artinya upaya mediasi itu adalah upaya di luar pengadilan.
Pemberlakuan Mediasi dalam system peradilan di Indonesia didasarkan pada PERMA Nomor 2 tahun 2003 yang kemudian disempurnakan dengan PERMA NO.1 Tahun 2008. Indonesia dapat dikatakan terlambat dalam membangun sistem mediasi. Singapura dengan Singapore Mediation Center telah lahir sejak tahun 1996. Mahkamah Agung sebelum mengeluarkan PERMA Nomor 1 Tahun 2008, terlebih dahulu harus melakukan studi khusus kepada negara-negara yang telah lebih dahulu mempunyai sistem mediasi, seperti Australia, Jepang, Amerika dan negara-negara Eropa.
Terdapat dua bentuk mediasi, bila ditinjau dari waktu pelaksanaannya. Pertama yang dilakukan di luar sistem peradilan dan yang dilakukan dalam sistem peradilan. Sistem Hukum Indonesia (dalam hal ini Mahkamah Agung) lebih memilih bagian yang kedua yaitu mediasi dalam sistem peradilan atau court annexed mediation atau lebih dikenal court annexed dispute resolution . Hal ini dapat dilihat pada PERMA Nomor 1 Tahun 2008 yang menetapkanmediasi sebagai bagian dari hukum acara dalam perkara perdata, sehingga suatu putusan akan menjadi batal demi hukum manakala tidak melalui proses mediasi (PERMA Pasal 2). Meskipun tidak dapat dibandingkan dengan Undang-Undang, PERMA ini dipandang sebagai kemajuan dari Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang masih menganggap mediasi sebagai penyelesaian sengketa di luar pengadilan (Pasal 1 butir 10).
F. Upaya Mengintegrasikan Hakam dan Mediasi.

Dari satu segi Hakam seperti yang diatur dalam pasal 76 ayat ( 2 ) UU No. 7 tahun 1989, ada yang berpendapat bersifat fakultatif, karena mengingat, pasal tersebut menggunakan kata-kata dapat. “ Pengadilan setelah mendengar keterangan saksi tentang sifat persengketaan antara suami isteri dapat mengangkat seorang atau lebih dari keluarga masing-masing pihak ataupun orang lain untuk menjadi hakam.” Kata-kata dapat harus difahami tidak mesti. Di sisi lain ada yang berpendapat bahwa perintah mengangkat hakam adalah perintah wajib, karena mengingat kata perintah ( fi’il amar ) dalam Surat an-Nisa’ ayat 35 seperti yang dikutip diatas adalah perintah wajib.
Satu segi yang lainnya adalah bahwa mediasi wajib dilakukan, kecuali dalam perkara-perkara tertentu yang diatur dalam pasal 4 Perma No.1 tahun 2008 sebagai berikut, “Kecuali perkara yang diselesaikan melalui prosedur pengadilan niaga, pengadilan hubungan industrial,keberatan atas putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, dan keberatan atas putusan Komisipengawas Persaingan Usaha, semua sengketa perdata yang diajukan ke Pengadilan Tingkat Pertama wajiblebih dahulu diupayakan penyelesaian melalui perdamaian dengan bantuan mediator”.
Pertanyaan kita adalah, apakah tidak dapat diintegrasikan antara Hakam seperti dalam UU No.7 tahun 1989 dan Mediator ?. Sehingga dalam perkara perceraianpun kita tidak lagi menggunakan media Hakam, tapi menggunakan media Mediasi seperti yang diatur dalam Perma No.1 tahun 2008. Tentu dengan jalan mengintegrasikan atau menggabungkan antara kedua lembaga tersebut. Caranya adalah sebagai berikut.
Khusus untuk perkara perceraian dengan alasan syiqaq. ( kalau perkara lain cukup menggunakan lembaga Mediasi.) Maka ketika Majelis Hakim menetapkan mediator, ketika itu juga Majlis dapat menetapkan Hakamain min Jihatil Hakim ( dalam hal ini adalah Mediator yang sudah ditetapkan oleh Ketua Pengadilan dengan mengikutkan pihak keluarga untuk memberikan input tentang inti syiqaq suami isteri. Mediator Hakam min Jihati Hakim bersama-sama dengan pihak keluarga melakukan tugas-tugas mediasi sekaligus tugas hakam. Dengan demikian pelaksanaan mediasi juga sekaligus telah melaksanakan aturan Undang-undang.
Dengan kata lain, tugas-tugas hakam seperti yang dinginkan oleh firman Allah, dan dicantumkan dalam undang-undang dilaksanakan sepenuhnya dengan memakaian pakaian lembaga yang diinginkan oleh Perma. Sehingga kita bisa mengumpulkan antara kedua lembaga tersebut, tanpa ada yang terlanggar.
Usaha integrasi ini sejiwa dengan qaidah , “ Dalam dua aturan yang kelihatan berbeda, maka bila mungkin dikumpulkan, tidak boleh dibuang salah satunya.
Wallahu a’lam bis shawab.

HUKUM ISLAM

ISLAM DAN HUKUM ISLAM
(Hubungannya dengan Aqidah & Tasauf serta dengan Ibadah & Mu’amalat)
Oleh : Drs. H. Insyafli, M.HI


A. Pendahuluan.

Islam adalah suatu sistem yang kaaffah dan syamilah yakni mencakup segala segi atau aspek kehidupan manusia, karena Islam bukanlah hasil rekayasa manusia, tetapi dia adalah wahyu Allah yang suci dan diturunkan kepada Rasul yang suci, yang mempraktekkan dan mencontohkan kepada manusia bagaimana seluruh aspek dari Islam itu dioperaisonalkan dalam kehidupan nyata manusia.
Makalah ini akan membahas Islam dan hukum Islam serta hubungannya dengan aqidah, tasauf dan dengan ibadah, muamalat. Jadi akan dibahas secara ringkas dan umum pengertian Islam dan beberapa aspeknya, dan secara khusus akan dikupas aspek hukum Islam.
Setelah kita memahami apa itu Islam dan apa itu hukum Islam serta aqidah, tasauf dan ibadah, mu’amalah, maka akan terlihatlah tali merah yang menghubungkan antara satu sama lain.

B. Pengertian Islam.
Mengenai pengertian Islam, ada pembahasan yang cukup menarik yang dilakukan oleh Prof.DR.H Tahir Azhary,SH. Dalam bukunya ‘Negara Hukum’ di bawah judul ‘Konsep al-din al-Islami menurut al-Qur’an , sebagai berikut; Islam adalah al-din ( the religion). Istilah al-din hanya ada dalam al-Qur’an . Pernyataan ini tercantum dalam dua ayat . Pertama, dalam surat Ali Imran ayat 19, yang artinya;
“ Sesungguhnya agama yang diridlai di sisi Allah hanyalah Islam”
Ayat kedua ada dalam surat al-Ma’idah ayat 3 yang artinya;
“ Pada hari ini Ku sempurnakan untukmu agamamu dan telah Kucukupkan nikmat-Ku dan telah Kuredlai Islam sebagai agama bagimu “.
Perkataan al-din sebagaimana tercantum dalam dua ayat al-Qur’an di atas merupakan suatu konsep yang terdiri dari dua komponen pokok pengaturan hubungan antara manusia dengan Allah (hubungan vertical, hablun minallah) dan antara manusia dengan manusia dalam suatu masyarakat atau dalam suatu Negara bahkan mungkin pula antar Negara serta antara manusia dengan lingkungannya (hubungan horizontal, hablun minannas). Dengan kata lain al-din al-Islami mengandung konsep bidimensional yang mencakup dua aspek kehidupan manusia yaitu aspek religius-spiritual dan aspek kemasyarakatan yang bertumpu pada ajaran tauhid.
Karena konsep al-din dalam al-Qur’an memiliki dua aspek, maka wahyu Allah SWT yang telah dibukukan dalam kitab suci al-Qur’an dan diperjelas oleh Sunnah Rasul berisi seperangkat kaidah yang mengatur bagaimana seharusnya manusia sebagai makhluk Allah dan sebagai khalifah-Nya (pengelola bumi dan lingkungan) berprilaku, baik dalam hubungannya dengan Allah, maupun hubungannya sesama manusia dan lingkungannya.
Para sarjana muslim membagi al-din al-Islami itu kepada tiga komponen yaitu, aqidah, syari’ah dan akhlak. Ketiga komponen ini merupakan suatu totalitas yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Dalam ketiga komponen ini pula terlibat tiga factor yang saling berkaitan yaitu posisi Allah, manusia sebagai individu maupun sebagai suatu kelompok masyarakat dan alam lingkungan hidup dari manusia tersebut.
Aqidah dapat diartikan suatu sistem keyakinan yang bersifat monotheisme murni yang hanya ada dalam Islam. Syari’ah merupakan seperangkat kaidah yang mengatur prilaku manusia yang mencakuip dua aspek hubungan vertical dengan Allah dalam hal ini disebut ibadah dan hubungan horizontal dengan manusia dan lingkungnnya atau disebut mu’amalah. Akhlak merupakan komponen ketiga dalam al-din al-Islami .
Di dalam akhlak terdapat seperangkat norma dan nilai etik atau moral. Bagaimana seharusnya manusia bersikap dan bertingkahlaku dalam melaksanakan hubungannya baik dengan Allah maupun dengan sesama manusia dan makhluk Allah yang lainnya.
Dengan mengutip firman Allah SWT dalam surat al-Anbiya’ ayat 170 Prof.DR Bustanuddin Agus, MA memulai uraian tentang ruang lingkup dan sistematika ajaran Islam. Menurutnya bahwa Nabi Muhammad SAW diutus sebagai rahmat untuk penghuni alam semesta. Rahmat mengandung aspek jasmaniah dan rohaniah. Dengan demikian ajaran yang disampaikannya mengandung pedoman pokok yang diperlukan untuk tercapainya kesejahteraan tersebut, bukan hanya bagi ummat Islam tetapi segenap penghuni alam semesta.
Lebih lanjut Bustanuddin menjelaskan bahwa kerahmatan dan kesejahteraan untuk umat manusia memerlukan petunjuk mengenai pandangan dan keyakinan hidup, nilai-nilai moral, kehidupan bernegara, perlindungan terhadap hak hidup, hak milik, kesehatan dan seterusnya. Pendek kata ajaran Islam itu sangat komprehensif mencakup semua aspek kehidupan manusia, mulai dari hal-hal yang kecil-kecil seperti do’a mau masuk WC, sampai kepada hal-hal yang besar-besar, mulai dari alam nyata sampai kepada alam ghaib.
Endang Saifuddin Anshari dalam bukunya Kuliah Islam seperti yang dikutip oleh Bustanuddin, membagi ajaran Islam itu kepada tiga yaitu; aqidah, syari’ah dan akhlak. Aqidah terbagi kepada enam rukun iman. Syari’ah dibagi kepada ibadah (dalam arti khusus) dan mu’amalat. Ibadah terdiri dari thaharah, shalat, zakat, shaum dan haji. Mu’amalat terbagi kepada hukum perdata dan hukum public. Hukum perdata mencakup , hukum niaga, hukum nikah, hukum waris dan lain sebagainya. Hukum public mencakup hukum pidana, hukum Negara, hukum perang dan damai (hukum jihad) dan lain sebagainya. Akhlak terdiri akhlak kepada Khalik dan makhluk.
Akhlak kepada makhluk terdiri dari akhlak kepada manusia dan bukan manusia. Akhlak kepada manusia terdiri dari akhlak kepada diri sendiri, kepada tetangga dan kepada masyarakat lainnya. Akhlak kepada bukan manusia akhlak kepada flora, fauna dan lain sebagainya.
Akhirnya dapat disimpulkan bahwa Islam sebagai al-din memiliki karekteristik sendiri. Islam bukan hanya sekedar agama yang mengandung doktrin ritual semata, tetapi ia merupakan suatu pandangan holistik yang menyeluruh dan sistematis. Islam mencakup seluruh aspek kehidupan manusia. Karena itu aspek-aspek kenegaraan dan hukum hanyalah merupakan bahagian dari Islam.

C. Pengertian Hukum Islam.
Sebelum menjelaskan apa itu hukum Islam, penulis ingin mengingatkan bahwa ada tiga kata yang berdekatan maknanya, dan bahkan kadangkala ada orang yang susah membedakan antara ketiganya. Ketiga kata ini dijelaskan oleh Prof. DR. H. Muchsin, SH sebagai berikut. Pertama kata ‘hukum’. Hukum dapat diartikan sebagai norma atau kaidah, yaitu tolok ukur, patokan , pedoman yang dipergunakan untuk menilai tingkah laku atau perbuatan manusia. Di dalam Islam ada lima hukum atau kaidah yang dijadikan patokan perbuatan manusia, yaitu; 1. Wajib. 2. Sunnah, 3. Mubah, 4. Makruh, 5. Haram.
Kata kedua adalah syari’ah. Syari’ah ialah norma dasar yang datangnya dari Allah SWT melalui Rasul-Nya berisi perintah , larangan dan anjuran yang meliputi seluruh aspek kehidupan manusia. Syari’at merupakan norma dasar . Karena bersifat dasar maka secara rinci dijelaskan oleh Rasul-Nya dalam hadits.
Kata ketiga adalah Fiqih. Karena norma-norma dasar yang terdapat dalam al-Qur’an dan Hadits banyak yang bersifat global atau umum, maka perlu dijelaskan lebih lanjut. Untuk melakukan perumusan lebih detil tentang doktrin-doktrin yang umum sehingga bisa direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari diperlukan ijtihad para mujtahid yang dibukukan dalam ilmu tersendiri yaitu ilmu fiqih. Karena itu dalam fiqih membutuhkan aktualita pemikiran untuk merespon perkembangan yang terjadi di tengah masyarakat.
Hasil dari kajian yang menggunakan ilmu fiqih inilah lahir apa yang disebut fiqih. Dengan kata lain ilmu fiqih adalah ilmu yang bertugas menentukan dan menguraikan hukum-hukum dasar yang terdapat dalam al-Qur’an dan Hadits Nabi.
Dalam bukunya ‘Reformasi Hukum Islam di Indonesia’ Profesor. DR.H. Abdul Manan, SH, S.IP, M.Hum, menegaskan bahwa fiqih dapat berupa ilmu yang mempelajari syari’ah dan sekarang sudah menjadi mata kuliah pokok pada Perguruan Tinggi Islam. Fiqih juga dapat berbentuk hukum, yaitu hukum yang berasal dari rasio atau hasil pemikiran manusia dan kebiasaan-kebiasaan yang terdapat dalam masyarakat. Fiqih yang sudah berbentuk peraturan atau undang-undang mempunyai daya paksa untuk melaksanakannya dan itulah yang disebut qanun.
Qanun merupakan hukum yang dibuat dengan ikut campur tangannya kekuasaan Negara dalam menyelesaikan perkara tertentu, misalnya qanun mu’amalah, qanun ahwalusy syakhshiyyah, qanun jinayah dan sebagainya.
Menurut Muchsin, hukum Islam secara umum mencakup pengertian aturan hukum yang bersumber dari syari’at yang bersifat qath’iy dan juga mencakup aturan hukum yang bersumber dari ijtihad yang bersifat dzonni.
Menurut Abdul Manan, bahwa dalam kitab-kitab fiqih tradisional, para pakar tidak mempergunakan kata hukum Islam dalam literature yang ditulisnya. Yang biasa digunakan ialah istilah syari’at Islam, hukum syara’, fiqih, syari’at dan syara’. Kata hukum Islam baru muncul ketika para orientalis Barat mulai mengadakan penelitian terhadap ketentuan syari’at Islam dengan term ‘Islamic Law’ yang secara harfiyah dapat disebut dengan hukum Islam. Hukum Islam merupakan rangkaian dari kata hukum dan kata Islam secara terpisah merupakan kata yang dipergunakan dalam bahasa Arab dan juga berlaku dalam bahasa Indonesia, yang hidup dan terpakai meskipun tidak ditemukan artinya secara defenitif.
Menurut Abdul Manan lebih lanjut, bahwa para ahli hukum masih bebeda pendapat dalam memberi arti hukum Islam. Sebahagian mereka mengatakan bahwa hukum Islam merupakan pedoman moral, bukan hukum dalam pengertian hukum modern. Sebahagian ahli hukum yang lain mengatakan bahwa hukum Islam adalah hukum dalam tatanan hukum modern. Hal ini dapat dilihat bahwa muatan yang terdapat dalam hukum Islam mampu menyelesaikan segala persoalan masyarakat yang tumbuh dan berkembang sejak ratusan tahun yang lalu. Hukum ini dapat memenuhi aspirasi masyarakat bukan hanya masa kini, tetapi dapat juga dijadikan acuan dalam mengantisipasi pertumbuhan social, ekonomi dan politik sekarang dan pada masa yang akan datang. Hukum Islam bukan sekedar norma statis yang mengutamakan kedamaian dan ketertiban saja, tetapi juga mampu mendinamiskan pemikiran dan merekayasa prilaku masyarakat dalam mencapai cita-cita dalam kehidupannya.
Menurut Amir Syarifuddin seperti yang dikutip oleh Abdul Manan, untuk memahami pengertian hukum Islam, perlu diketahui lebih dahulu kata “hukum” dalam bahasa Indonesia dan kemudian kata hukum itu disandarkan kepada “Islam”. Pengertian hukum secara sederhana adalah, “seperangkat peraturan tentang tingkah laku manusia yang diakui sekelompok masyarakat, disusun oleh orang-orang yang diberi wewenang oleh masyarakat itu, berlaku dan mengikat untuk seluruh anggotanya”. Bila kata hukum itu dihubungkan dengan kata “Islam” atau kata syara’ maka hukum Islam akan berarti, “ seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah dan Sunnah Rasul tentang tingkah laku manusia mukallaf yang diakui dan mengikat untuk semua manusia yang beragama Islam”. Bila pengertian ini dihubungkan dengan pengertian fiqih, maka yang dimaksud dengan hukum Islam itu ialah fiqih dalam literature yang berasal dari bahasa Arab. Dengan demikian setiap fiqih diartikan juga dengan hukum Islam yang mempunyai term seperti sekarang ini.
Demikian ulasan Amir Syarifuddin.
Hukum Islam menurut definisi yang dikemukakan oleh Hasbi Ash-Shiddieqy dalam bukunya Falasafah Hukum Islam ( yang tidak lain dari pada fiqih Islam menurut Hasbi) adalah,”Koleksi daya upaya para fuqaha dalam menerapkan syari’at Islam sesuai dengan kebutuhan masyarakat”. Lebih lanjut menurut Hasbi bahwa hukum Islam (fiqih) itu adalah hukum yang terus hidup sesuai dengan undang-undang gerak dan subur. Dia mempunyai gerak yang tetap dan perkembangan yang terus menerus. Karenanya hukum Islam itu senantiasa berkembang dan perkembangan itu merupakan tabiat hukum Islam yang terus hidup.
Setelah meninjau lima sifat hukum Islam yang melekat pada dirinya sebagai suatu fitrah yaitu (1) bidimensional, (2) adil, (3) individualistik dan kemasyaraatan, (4) komprehensif dan (5) dinamis, maka akhirnya Tahir Azhary tiba pada suatu tesis bahwa hakikat hukum Islam ialah syari’ah yang merupakan “ cara hidup yang berasal dari nilai-nilai abadi dan mutlak, diwahyukan dengan jalan keseluruhan amanat Qur’an”

D. Hubungan Islam, Hukum Islam dengan Aqidah, Tasauf.
Hubungan antara ketiga aspek ajaran Islam, yaitu aqidah, syari’ah, akhlak, adalah hubungan yang sangat kokoh dan tidak dapat dipisahkan. Meskipun sekilas terlihat antara ketiga aspek itu seperti berjauhan.
Dalam melihat hubungan ketiga aspek tersebut di atas ada baiknya kita simak uraian yang dibuat oleh Bustanuddin Agus berikut ini. Dijelaskannya bahwa aqidah atau iman merupakan keyakinan, prinsip atau pendirian yang tertanam dalam hati. Kata-kata beriman di dalam al-Qur’an biasanya diiringi dengan kata-kata beramal saleh. Menurut Bustanuddin beramal saleh dinamakan syari’at, karena syari’at dan amal saleh itu ditujukan kepada tingkah laku, perbuatan dan tindakan lahiriyah. Hal ini dapat diterima. Jadi iman itu tidak bisa dipisahkan dengan mengamalan syari’at. Sekedar sebagai contoh, iman kepada Allah al-Hadi (Yang Maha Memberi Petunjuk) harus dipraktekkan dengan cara membaca dan mengamalkan petunjuk-petunjuk-Nya itu. Iman kepada akhirat diamalakan dengan berhati-hati dalam tindakan karena semuanya akan dibalasi di akhirat. Sebaliknya, amal saleh berupa sholat harus didasari iman bahwa sholat itu hal penting dalam Islam dan berfungsi untuk mencegah yang keji dan mungkar.

Sejalan dengan keadaan manusia yang juga memiliki rohani dan perasaan, para ulama juga menunjukan perhatian kepada aspek ini dengan mengembangkan ilmu khusus tentang pembinaan rohani dalam Islam yang dinamakan tasauf akhlak. Perhatian dalam ilmu ini ditujukan kepada hal-hal yang menyucikan rohani, mendekatkan diri kepada Allah dan sifat-sifat terpuji seperti sabar, tawakkal, qana’ah (merasa cukup dengan apa yang ada) dan lain sebagainya. Karena itu tinjauan terhadap bidang ini ada juga yang menamakannya dengan asapek ihsan dari ajaran Islam. Para ahli tasauf sangat menekankan pentingnya kekhusyu’an dalam sholat, niat yang ikhlas dalam beramal, cinta kepada Allah dan lain sebagainya.
Dengan kata lain, keimanan yang diamalkan melalui syari’at, haruslah melahirkan akhlak atau prilaku-prilaku terpuji, seperti ikhlas, sabar, tawakkal, qana’ah dan sifat-sifat terpuji lainnya.
Dari uraian di atas terlihatlah adanya hubungan antara Islam, hukum Islam dengan aqidah dan tasauf, dimana aqidah dan tasauf harus dilaksanakan dan dipraktekkan dalam bentuk amal perbuatan yang merupakan hukum Islam, sebaliknya hukum Islam baik ibadah maupun mu’amalat harus pula dilaksanakan dengan didasari oleh aqidah dan tasauf yang baik pula, karena antara keduanya terdapat hubungan yang saling melengkapi.

E. Hubungan Islam, Hukum Islam dengan Ibadah, Mu’amalat.
Seperti yang telah diuraikan dalam pembahasan tentang Islam di atas, bahwa Islam itu mencakup tiga aspek, yaitu, aqidah, syari’ah dan akhlak. Antara ketiga aspek ini terikat dengan ikatan yang sangat kuat sehingga ketiganya tidak dapat dipisahkan, antara satu sama lainnya terdapat hubungan yang sangat erat.
Menarik sekali uraian yang dibuat oleh Prof.DR.H.Bustanuddin MA, tentang hubungan ketiga aspek tersebut. Khusus dalam sub ini adalah hubungannya dengan Ibadah dan Mu’amalat. Dimana dijelaskannya sebagai berikut, “Syari’ah biasa pula dibagi kepada ibadah dan mu’amalat. Yang pertama mencakup hubungan manusia dengan Tuhan, sedangkan yang kedua mencakup hubungan manusia dengan sesama manusia. Tetapi kalau kita perhatikan apa yang dinamakan ibadah itu seperti shalat, puasa, zakat dan lain sebagainya, bukan saja merupakan hubungan manusia dengan Tuhannya, tetapi juga untuk memperkokoh hubungan antara yang melakukannya dengan sesama manusia. Dalam sholat banyak bacaan yang mendo’akan keserasian hubungan dengan sesama manusia. Sholat dianjurkan sekali agar dilakukan secara berjama’ah sehingga merupakan wadah untuk membina kesatuan sosial. Puasa diwajibkan juga supaya meningkatkan kesantunan kepada orang miskin. Zakat jelas-jelas merupakan hubungan sesama manusia, disamping juga hubungan dengan Allah. Demikian juga mu’amalat seperti pernikahan, jual beli, belajar mengajar, bekerja dan lain sebagainya, yang dianggap sebagai mu’amalat sebenarnya, adalah ibadah kepada Allah SWT” .
Dengan pemahaman bahwa ibadah dan muamalah adalah merupakan wujud pengabdian seorang muslim kepada Tuhannya, sehingga terlihat hubungan timbale balik yang sangat erat antara keduanya sehingga dapat disimpulkan bahwa, “apa yang biasa dikenal sebagai ibadah, juga merupakan pembinaan hubungan sosial dan dilaksanakan dengan jasmani dan harta. Demikian pula berbagai kegiatan yang biasa dianggap sebagai mu’amalat, juga hendaknya dilakukan sebagai ibadah kepada Allah. Maka masing-masing dari ibadah dan mu’amalat merupakan dua sisi dari kegiatan setiap Muslim. Maka ibadah dan mu’amalat dalam pengamalan ajaran Islam juga harus terpadu”.
Dengan uraian di atas semakin jelaslah hubungan antara Islam, Hukum Islam dengan Ibadah, Mu’amalat. Dimana dapat disimpulkan bahwa ibadah dan mu’amalat adalah bahagian dari hukum Islam disamping ada bahagiaan lain dari hukum Islam seperti Munakahat, Jinayat dan lain-lain, dan hukum Islam adalah bahagian dari Islam. Dimana hukum Islam lebih luas dari ibadah dan muamalah.
Dengan demikian objek yang dibahas dalam setiap bidang ajaran Islam tersebut adalah sama , seperti iman kepada Allah, kitab dan Rasul serta berbagai ibadah dan mu’amalat dan lain sebagainya. Dalam pengamalan dan penghayatan kehidupan beragama ketiga aspek itu tidak boleh dipisahkan. Dalam setiap amal yang tentunya harus disesuaikan dengan hukum Islam (syari’ah), juga harus dilandasi oleh keimanan bahwa hal tersebut adalah perintah Allah SWT, serta dilaksanakan dengan penuh keihklasan dan kecintaan kepada-Nya. Adanya ketiga aspek itu dalam setiap amal dan kegiatan sehari-hari sebagai seorang muslim merupakan keterpaduan ajaran Islam antara ketiga bidang tersebut, terpadu antara aqidah, syari’ah (hukum Islam) dan Tasauf/akhlak. Hubungan keterpaduan itu sejalan pula dengan sifat ajaran Islam sebagai agama tauhid yang bukan saja berarti mengesakan Tuhan , tetapi juga memadukan aspek-aspek tersebut dalam setiap kegiatan sehari-hari.

F. Kesimpulan.

1. Para sarjana muslim membagi al-din al-Islami itu kepada tiga komponen yaitu, aqidah, syari’ah dan akhlak.
2. Hukum Islam berarti seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah dan Sunnah Rasul tentang tingkah laku manusia mukallaf yang diakui dan mengikat untuk semua manusia yang beragama Islam.
3. Hubungan antara Islam, hukum Islam dengan aqidah dan tasauf, dimana, aqidah dan tasauf harus diamalkan dalam wujud hukum Islam. Dengan demikian imannya berbuah amal. sebaliknya hukum Islam, baik ibadah maupun mu’amalah yang dilaksanakan seorang muslim harus dilaksanakan dengan didasari dan disertai dengan aqidah dan tasauf yang baik pula.
4. Hubungan antara Islam, Hukum Islam dengan Ibadah, Mu’amalah. Dimana dapat disimpulkan bahwa ibadah dan mu’amalah adalah bahagian dari hukum Islam, dan hukum Islam adalah bahagian dari Islam

DAFTAR PUSTAKA

Prof.DR.H.Tahir Azhary,SH, Negara Hukum, Suatu Studi Tentang Prinsip-prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam Implementasinya pada Priode Negara Madinah dan Masa Kini, Jakarta, Kencana , 2004.

Syeikh Mahmoud Syaltout, Islam Sebagai Aqidah dan Syari’ah, terjemahan oleh Bustami A.Gani dkk, Jakarta, Bulan Bintang, 1970.

DR. Bustanuddin Agus, MA, Al-Islam, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada,1993.
Prof.DR. H. Muchsin, SH, Masa Depan Hukum Islam di Indonesia, STIH Iblam, Jakarta, 2004.

Prof.DR.H.Abdul Manan, SH, S.IP, M.Hum, Reformasi Hukum Islam di Indosia, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2005.

Profesor.Dr. T.M HasbI Ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1975.