Selasa, 05 Mei 2009

HAKAMAIN MIN JIHATIL HAKIM

INTEGRASI ANTARA MEDIASI DAN HAKAMAIN MIN JIHATIL HAKIM
Oleh : Drs. H. INSYAFLI. M.HI
(Hakim Tinggi pada PTA Padang)
A. Pendahuluan

Istilah “Hakamain min Jihatil Hakim” adalah istilah yang cukup popular di kalangan Hakim Peradilan Agama di Indonesia. Istilah yang berasal dari bahasa Arab ini secara letterleijk dapat diartikan, “ Dua orang Hakam dari Pihak Hakim”. Secara umum diketahui bahwa hakam ( juru damai dalam perkara syiqaq) seorang berasal dari pihak keluarga suami dan seorang lagi berasal dari pihak isteri. Tetapi dalam kondisi tertentu Majelis Hakim dapat mengangkat , “Hakamain min Jihatil Hakim” yang bukan dari pihak keluarga para pihak, diantaranya yang berasal dari Hakim Mediator yang sudah ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Agama.
Lembaga “Hakam” merupakan lex specialis di dunia Peradilan Agama yang nota bene merupakan penerapakan “Hukum Manshush” dari firman Allah SWT dalam Al-Qur’an dalam perkara “Syiqaq” atau perceraian dengan alasan percekcokan yang memuncak.
Pengagajuan perkara perceraian dengan alasan percekcokan yang memuncak, seringkali pula di kumulasikan dengan gugatan nafkah, harta bersama atau gugatan kehartabendaan lainnya.
Di segi lain Mahkamah Agung RI telah menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung No. 2 tahun 2003 yang telah diperbaharui dengan Peraturan Mahakmah Agung No.1 tahun 2008, yang substansi adalah mengenai Mediasi yang mesti dilaksanakan dalam menangani setiap perkara oleh Majelis Hakim termasuk di dalamnya perkara-perkara di Peradilan Agama.
Bagaimana menyatukan kedua lembaga tersebut, yakni lembaga “Hakamain” dan lembaga “ Mediasi” yang sama-sama mesti dilaksanakan, bahkan Bapak Tuada Agama, menyebutnya dengan kata-kata “Wajib Ain”.
Inilah pokok bahasan yang penulis akan mencoba mengurainya berikut ini.

B. Pengertian Hakamain.

Istilah hakam berawal dari firman Allah SWT, dalam Surat an-Nisa’ ayat 35 sebagai berikut,
و ان خفتم شقاق بينهما فابعثوا حكما من اهله و حكما من اهلها

“ Jika kamu mengkhawatirkan percekcokan antara keduanya (suami-ister), maka angkatlah seorang Hakam dari keluarga suami dan seorang Hakam dari keluarga isteri”.
Dalri ayat terbut dapat dipahami bahwa Hakam adalah seorang utusan atau delegasi dari pihak suami isteri, yang akan dilibatkan dalam penyelesaian sengketa antara keduanya.
Ada beberapa padanan kata yang mempunyai arti yang hampir sama, atau mirip dengan hakam. Diantaranya adalah yang dikutipkan oleh Bapak M. Yahya Harahap Sh, dalam bukunya sebagai berikut,
“Noel J. Coulson memberi sinonim ‘arbitor’ sebagai kata yang sepadan dengan hakam. Begitu juga Moerteza Mutahhari mengemukakan padanan Hakam dengan kata ‘arbiter’.
Dalam UU No.7 tahun 1989, istilah Hakam dipakai diantaranya dalam pasal 72 ayat (2) sebagai berikut, “ Hakam adalah orang yang ditetapkan Pengadilan dari pihak keluarga suami atau pihak keluarga isteri atau pihak lain ntuk mencari upaya penyelesaian perselisihan terhadap syaiqaq”.
Bila kita ingin membandingkan antara hakam dalam pengertian ayat Al-Qur’an di atas dengan Hakam dalam pengertian UU No.7, terlihat kesamaan arti antara keduanya. Akan tetapi dalam Undang-undang No.7 Hakam diperluas dengan, ‘atau pihak lain’. Pihak lain inilah yang bisa kita interpretasikan sebagai Hakamain min Jihatil Hakim.
C. Syarat-syarat Hakam
Tidak ada salahnya kita meliaht persyaratan yang ditentukan oleh Syeikh Jalaluddin al-Mahally sebagai berikut’
و يشترط فيهما الحرية و العدلة و الاهتداء الي ما هو المقصود من بعتهما
“ Disyaratkan kedua Hakam itu merdeka, ‘adalah (jujur) serta punya pengetahuan tentang tugas-tugas yang dibebankan kepadanya”.
Syarat yang perlu mendapat perhatian kita adalah syarat terakhir yakni punya pengetahuan tentang tugas-tugas hakam . Dari sini dapat kita fahami bahwa para Mediator di Pengadilan, lebih memenuhi syarat, dari segi punya pengetahuan dan kemampuan sebagai hakam.

D. Pengertian Hakamain min Jihatil Hakim.
Hakam min Jihatil Hakim, secara harfiyah telah disinggung dalam pendahuluan di atas. Secara sederhana dapat dimaknai sebagai dua orang (yang bukan dari pihak keluarga suami isteri) yang ditetapkan oleh Majelis Hakim (misalnya dari Mediator Pengadilan) bertugas sebagai Hakam dari pihak suami dan Hakam dari pihak isteri.
Sebagai landasan ilmiyah fiqhiyah, dapat kita tengok uraian Doktor Wahbah az-Zuhaili, sewaktu menguraikan syarat-syarat hakam sebagai berikut,
فان لم يكونا من اهلهما بعث القاضي رجلين اجنبيين و يستحسن ان يكونا من جران الزوجين ممن لهما خبرة بحال الزوجين وقدرة علي الاصلاح بينهما
“ Jika keduanya tidak berasal dari keluarga kedua suami isteri, Hakim mengangkat dua orang laki-laki yang bukan kelaruga (orang lain: ajnabiy). Baik sekali keduanya berasal dari tetangga suami isteri, yang mengetahui betul keadaan suami isteri, serta memiliki kemampuan untuk mendamaikan keduanya”
Garis hokum yang dapat kita tarik dari kutipan di atas adalah bahwa, dalam hal khusus (misalnya pihak keluarga kurang memenuhi persyaratan) maka Hakim dapat mempertimbangkan untuk mengangkat dua orang yang bukan keluarga sebagai hakamain, dalam hal ini misalnya Mediator yang ditunjuk oleh Pengadilan dari kalangan Hakim. Apalagi mengingat kemampuan mereka untuk mengemban tugas, mencari penyelesaian dalam sengketa para pihak pasti lebih unggul dibandingkan dengan dari pihak keluarga.
E. Mediasi.
Dalam pengetahuan hokum sekarang ini mediasi dapat dipandang sebagai suatu proses pengambilan keputusan dengan bantuan pihak tertentu. John Wade mengutip beberapa pengertian mediasi. Menurut Folberg dan A. Taylor, a comprehensive guide to resolving conflict withouth litigation dan menurut Laurence Bolle, mediation is a decision making process in which the parties are assited by a third party, the mediatorthe mediator attempt to improve the process of decision making and to assist the parties reach an autcome to wich of them can assen.
Dari keduapengertian mediasi kalau kita ingin menegaskannya adalah bahwa mediasi bantuan atau bimbingan dari pihak ketiga ( bukan pihak berperkara ) untuk merumuskan langkah-langkah sebagai solusi dan membuat jalan keluar dan keputusan damai antara pihak-pihak berperkara.
Lebih jauh lagi,Said Faisal dalam “Pengantar Mediasi” mengutip pendapat Moor C.W dalam memberikan definisi mediasi, pada dasarnya mediasi adalah negosiasi yang melibatkan pihak ketiga yang memiliki keahlian mengenai prosedur mediasi yang efektif dan dapat membantu dalam situasi konflik untuk mengkoordinasikan aktifitas mereka sehingga lebih efektif dalam proses tawar menawar, bila tidak ada negosiasi… tidak ada mediasi5. Seorang mediator pada dasarnya memiliki kecenderungan menggunakan interest based negotiation yang pada akhirnya kepentingan semua pihak dapat terwakili. Mediasi dan negosiasi bukanlah dua proses yang terpisah namun lebih mengarah kepada negosiasi yang difasilitasi oleh pihak ketiga yang netral. Meskipun secara substansial negosiasi berbeda dengan mediasi, namun sering kali dikatakan bila tidak ada negosiasi tidak ada mediasi. Oleh karena negosiasi merupakan nilai penting dalam mediasi, maka tawaran pihak pertama dan harga konsesi akan sangat menentukan pada hasil akhir negosiasi (mediasi)
Disini Moor C.W menstressing bahwa inti dari mediasi itu adalah kemampuan negosiasi atau tawar menawar kepentingan dan keuntungan antara pihak-pihak berperkara, sehingga ditemukan garis tengah yang biasanya disebut win-win solution.
Dalam Perma No.1 tahun 2008 di jelaskan bahwa, “Mediator adalah pihak netral yang membantu para pihak dalam proses perundingan guna mencariberbagai kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian” Sedangkan mediasi diartikan sebagai berikut, “Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh
kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator”.
Semula mediasi adalah upaya pencarian solusi satu sengketa yang bersifat non litigasi artinya upaya mediasi itu adalah upaya di luar pengadilan.
Pemberlakuan Mediasi dalam system peradilan di Indonesia didasarkan pada PERMA Nomor 2 tahun 2003 yang kemudian disempurnakan dengan PERMA NO.1 Tahun 2008. Indonesia dapat dikatakan terlambat dalam membangun sistem mediasi. Singapura dengan Singapore Mediation Center telah lahir sejak tahun 1996. Mahkamah Agung sebelum mengeluarkan PERMA Nomor 1 Tahun 2008, terlebih dahulu harus melakukan studi khusus kepada negara-negara yang telah lebih dahulu mempunyai sistem mediasi, seperti Australia, Jepang, Amerika dan negara-negara Eropa.
Terdapat dua bentuk mediasi, bila ditinjau dari waktu pelaksanaannya. Pertama yang dilakukan di luar sistem peradilan dan yang dilakukan dalam sistem peradilan. Sistem Hukum Indonesia (dalam hal ini Mahkamah Agung) lebih memilih bagian yang kedua yaitu mediasi dalam sistem peradilan atau court annexed mediation atau lebih dikenal court annexed dispute resolution . Hal ini dapat dilihat pada PERMA Nomor 1 Tahun 2008 yang menetapkanmediasi sebagai bagian dari hukum acara dalam perkara perdata, sehingga suatu putusan akan menjadi batal demi hukum manakala tidak melalui proses mediasi (PERMA Pasal 2). Meskipun tidak dapat dibandingkan dengan Undang-Undang, PERMA ini dipandang sebagai kemajuan dari Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang masih menganggap mediasi sebagai penyelesaian sengketa di luar pengadilan (Pasal 1 butir 10).
F. Upaya Mengintegrasikan Hakam dan Mediasi.

Dari satu segi Hakam seperti yang diatur dalam pasal 76 ayat ( 2 ) UU No. 7 tahun 1989, ada yang berpendapat bersifat fakultatif, karena mengingat, pasal tersebut menggunakan kata-kata dapat. “ Pengadilan setelah mendengar keterangan saksi tentang sifat persengketaan antara suami isteri dapat mengangkat seorang atau lebih dari keluarga masing-masing pihak ataupun orang lain untuk menjadi hakam.” Kata-kata dapat harus difahami tidak mesti. Di sisi lain ada yang berpendapat bahwa perintah mengangkat hakam adalah perintah wajib, karena mengingat kata perintah ( fi’il amar ) dalam Surat an-Nisa’ ayat 35 seperti yang dikutip diatas adalah perintah wajib.
Satu segi yang lainnya adalah bahwa mediasi wajib dilakukan, kecuali dalam perkara-perkara tertentu yang diatur dalam pasal 4 Perma No.1 tahun 2008 sebagai berikut, “Kecuali perkara yang diselesaikan melalui prosedur pengadilan niaga, pengadilan hubungan industrial,keberatan atas putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, dan keberatan atas putusan Komisipengawas Persaingan Usaha, semua sengketa perdata yang diajukan ke Pengadilan Tingkat Pertama wajiblebih dahulu diupayakan penyelesaian melalui perdamaian dengan bantuan mediator”.
Pertanyaan kita adalah, apakah tidak dapat diintegrasikan antara Hakam seperti dalam UU No.7 tahun 1989 dan Mediator ?. Sehingga dalam perkara perceraianpun kita tidak lagi menggunakan media Hakam, tapi menggunakan media Mediasi seperti yang diatur dalam Perma No.1 tahun 2008. Tentu dengan jalan mengintegrasikan atau menggabungkan antara kedua lembaga tersebut. Caranya adalah sebagai berikut.
Khusus untuk perkara perceraian dengan alasan syiqaq. ( kalau perkara lain cukup menggunakan lembaga Mediasi.) Maka ketika Majelis Hakim menetapkan mediator, ketika itu juga Majlis dapat menetapkan Hakamain min Jihatil Hakim ( dalam hal ini adalah Mediator yang sudah ditetapkan oleh Ketua Pengadilan dengan mengikutkan pihak keluarga untuk memberikan input tentang inti syiqaq suami isteri. Mediator Hakam min Jihati Hakim bersama-sama dengan pihak keluarga melakukan tugas-tugas mediasi sekaligus tugas hakam. Dengan demikian pelaksanaan mediasi juga sekaligus telah melaksanakan aturan Undang-undang.
Dengan kata lain, tugas-tugas hakam seperti yang dinginkan oleh firman Allah, dan dicantumkan dalam undang-undang dilaksanakan sepenuhnya dengan memakaian pakaian lembaga yang diinginkan oleh Perma. Sehingga kita bisa mengumpulkan antara kedua lembaga tersebut, tanpa ada yang terlanggar.
Usaha integrasi ini sejiwa dengan qaidah , “ Dalam dua aturan yang kelihatan berbeda, maka bila mungkin dikumpulkan, tidak boleh dibuang salah satunya.
Wallahu a’lam bis shawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar